decode3

Fan fiction by Julian Yook

Cast: Park Ji Min (BTS), Shin Sun Young (OC) | Genre: AU, Mystery, Crime |Length: Chaptered |

RATE : Adult

***

Jimin dan Sunyoung mengira ini akan jadi bulan madu yang menyenangkan.

Itu hampir benar, sampai secara tidak sengaja mereka menemukan sesuatu berbaring di dalam bathtub ….

Hanya ada dua pilihan. Melapor kemudian tertangkap atau …?

***

BAB 3

[Wanita Tua Penjual Jeruk]

Telunjuknya bergerak memutar scroll mouse pelan, sementara matanya meneliti dengan cermat setiap hangul yang berderet pada layar. Gerak jari itu kemudian terhenti ketika sepasang iris hitamnya berkilatan, menemukan sesuatu. “Pengusaha Restoran Sukses?” Sunyoung berucap, menirukan tulisan yang ia baca.

Klik.

Wajahnya tampak bersinar dibayangi cahaya layar macbook. Serupa dengan matanya yang berbinar begitu tulisan itu terbuka sempurna.

Hong Byun Soo, pengusaha restoran sukses ini lahir di Busan dan meniti karier di Seoul. Ia telah membuka cabang di Daegu, Gwangju dan Pulau Jeju. Ia juga bertanggungjawab sebagai pembuka lapangan kerja bagi 257 orang karyawannya. Tak ada yang begitu istimewa dari kepribadian lelaki yang akrab dipanggil Byunsoo ini. Dia sederhana dan tak pernah pilih-pilih. Mungkin hal itulah yang membuat restorannya berkembang pesat dan mampu bersaing dengan restoran lain. Cita rasa yang disuguhkan juga tak bisa diragukan begitu saja. Semuanya tersaji cantik, sehat dan tentu saja lezat. Bagi anda yang tertarik mencicipi silahkan kunjungi HBS Food, untuk di daerah Daegu kalian bisa datang ke—

“Pengusaha Restoran sukses?” Sunyoung terperangah beberapa saat. Dibacanya lagi semua alamat yang tertera dan yang paling menjadi perhatiannya adalah restoran yang terletak di Pulau Jeju, tentu saja.

Ia melihat lagi gambar yang tertera pada artikel, memastikan apakah itu Byunsoo yang ia maksud. Tampak lelaki tinggi dengan badan yang bagus dan otot-otot membuat lengan bajunya terlihat lebih besar, pun dengan pundaknya yang lebar dan penuh. Sunyoung bisa memastikan dari postur tubuh itu bahwa Byunsoo adalah tipe yang rajin berolahraga, ia bahkan tampak lebih muda dari usia aslinya. Artikel ini dirilis tiga bulan yang lalu, itu berarti usia Byunsoo masih tiga puluh lima tahun. Tapi, coba lihat! Ia bahkan tampak seperti seorang bujang berusia duapuluh limaan.

Dan … kenyataan paling bagus adalah … ini benar Byunsoo yang ada di kamar mandinya.

Selama ini yang ada di bayangan Sunyoung adalah pengusaha restoran dengan perut buncit. Tapi Byunsoo tidak begitu. Segala bayangan konyol tentang lelaki gempal karena mencicipi tiap makanan di resto sesuka hati tiba-tiba menguap begitu saja.

Sunyoung memerhatikan wajah tersenyum Byunsoo di depan bangunan restoran. Damn, dia cukup tampan, sama seperti idola-idola yang sering ia lihat di televisi. Tidak menutup kemungkinan Sunyoung mau menikah dengan lelaki ini jika ia bertemu dengannya lebih dulu ketimbang dengan Jimin.

Sunyoung menekan dua belah bibirnya dengan punggung jari dan tersenyum ringan. Menyadari hal konyol yang tiba-tiba saja mencuat di pikirannya dan menggelengkan kepala.

Ia mengembuskan napas keras dan berbicara pada dirinya sendiri, “Okay.” Tangan Sunyoung meraba-raba meja kerja tanpa menghilangkan kontak mata dengan tulisan yang tertera pada layar. Bunyi kertas digeser kontan terdengar ketika tangan wanita itu berhasil mendapatkan benda yang ia cari. Sunyoung melipat tangan sebelah kirinya pada meja dan mencondongkan badan sedikit ke depan. Dilihatnya tulisan pada layar dan kertas bergantian, memastikan apakah seluruh alamat yang ditulisnya ini benar. Di sisi lain bibirnya bergerenyam membaca alamat itu sambil memgangguk-ngangguk.

“Hanya lima menit dari penginapan ini menggunakan taksi,” pikirnya, menyandarkan punggung dan membaringkan pensil di atas catatan.

Pencariannya di internet ini banyak mengalami gangguan dari pikirannya sendiri. Seringkali ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang dan berpikir keras kemudian kembali menjelajah internet. Dan kali ini ia sedang ada di fase menganalisis.

Tangannya terkapar santai di atas kaki yang ia silangkan di atas kursi. Punggung yang ia sandarkan membuat badannya sedikit merosot sementara kepalanya setengah menengadah menembus pemandangan di luar jendela.

Di waktu seperti ini ia mencetuskan berbagai spekulasi yang memenuhi otaknya dengan cara berbicara pada diri sendiri. “Dia pengusaha sukses. Bukankah begitu?” bibirnya menipis berpikir. Matanya berkedip pelan beberapa kali, hal yang tak pernah ia sadari bahwa wajahnya kini benar-benar seperti seorang pemikir berat. “Saingan …,” gumamnya kemudian.

“Dia pergi ke pulau jeju untuk mengontrol cabang restorannya. Menginap di cottage ini dan tewas terbunuh oleh saingannya. Seseorang seperti dia sudah sepantasnya punya rival. Dan, bisa jadi rivalnya ini tidak sesukses dia dan melancarkan aksi pembunuhan sebagai balas dendam?” Cabang-cabang di otak Sunyoung sekonyong-konyong menemui garis penyambung. Dengan pandangan mengawang-ngawang, ia melanjutkan racauannya, “saingannya dalam bidang kuliner tentu saja, hmm … ya, ya.” Kepala dan matanya dengan kompak mengangguk kecil.

“Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku sepeduli ini dengan masalah pribadi orang lain.” Ditegakkan kembali tubuhnya dan pandangannya terpusat pada layar netbook. Tangannya yang tertangkup pada mouse bergerak-gerak ringan diiringi bunyi klik-klik dari telunjuknya. Yang ada di pikirannya adalah tetap mencari. Ia butuh informasi lebih dari sekadar ini.

Sudah satu tahun yang lalu tepatnya ia berubungan dengan hal semacam ini. Terjun pada masalah milik orang lain dan meluangkan waktunya untuk ikut mencari solusi atau setidaknya memberikan sebuah ketenangan hati. Masih teringat jelas bagaimana klien-nya berbaring di atas sofa dan menceritakan segala tektek-bengek hidup. Ia mendengarkan dengan sebuah papan dada di tangan kiri, sementara tangan kanannya menulis. Itu satu tahun yang lalu, ketika ia masih berprofesi sebagai psikolog.

Diam-diam Sunyoung berharap, semoga saja kemampuan analisanya masih setajam waktu itu.

***

Hawa pendingin ruangan langsung terasa di ubun-ubun Jimin ketika ia melangkahkan kaki ke dalam supermarket. Ditariknya troli besi dan mulai mengedarkan pandang ke sekeliling. Tungkainya melaju dengan kecepatan sedang menuju bagian bertuliskan buah-buahan. Di sana ada stan yang dijaga oleh wanita paruh baya dengan topi golf dan celemek berwarna merah dari kulit sintesis.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” sapanya, tersenyum.

Mata kecil Jimin terlepas perhatiannya dari jeruk yang menggunduk rapi membentuk piramida. Dengan alis terangkat antusias, lelaki itu menoleh dan tersenyum lebar. “Aku ingin jeruk,” ucapnya riang.

“Ah, jeruk …,” desah wanita itu, mengangguk-ngangguk. Kepalanya kemudian bergerak ke kanan dan kiri, memilah-milah. “Kami punya banyak pilihan jeruk di sini.”

“Bisa pilihkan aku yang terbaik?”

“Tentu!” Mata dengan guratan halus itu kemudian kembali beredar pada jeruk-jeruk yang disekat mengelilingi stannya. Ia mengambil sebuah jeruk berwarna oranye segar. “Untuk Tuan yang selalu tersenyum dan tampak bahagia, aku sarankan sunkist ini.”

“Ohh, sunkist.” Jimin menerimanya. Memutar dalam genggaman dengan sorot mata mengamati. “Apa ini cocok untuk istriku yang sedang hamil?” tanyanya seraya melirik.

“Astaga … astaga! Pantas saja kau terlihat begitu bahagia, Anak muda! Pengantin baru rupanya. Ahhh! Kalian pasti sedang panas-panasnya!”

Jimin tercenung sebentar, mengamati wanita yang kelihatan lebih bersemangat dari dirinya sendiri.

“Tentu saja sunkist ini cocok untuk pengantin baru seperti kalian! Selesai memakannya bersama, kau bisa menciumnya tepat di bibir.” Matanya nampak menerawang. “Terdengar seperti kiss. Ya, itu akan sangat romantis.”

“Benarkah? Kalau begitu aku ingin satu kardus.”

Wanita paruh baya itu tiba-tiba saja mendesah dan memegang dahinya sendiri. “Aku tidak bisa membayangkan berapa banyak ciuman dari sunkist sebanyak itu,” keluhnya, meringis.

“O-oh, kau membayangkannya?”

Wanita itu hanya menjawabnya dengan senyum tertahan. Sementara tangannya yang agak keriput mengeluarkan kardus dari kolong dan mulai mengemas pesanan Jimin.

“Apa aku perlu membeli jeruk nipis juga?”

Wanita itu mengangkat wajah.”Kau akan memberinya jeruk nipis?” tanyanya penasaran, dengan tangan yang tetap bekerja.

Jimin mengerling dan mengulum bibirnya beberapa saat. “Iya, aku akan memberinya.”

“Jeruk nipis itu terlalu asam, kau tahu kan.”

“Ya … ya. Tapi aku butuh itu.”

“Baik, aku akan membungkuskannya untukmu. Kau butuh berapa?”

“Satu kardus.”

Wanita itu mengangguk paham dan mengeluarkan satu lagi kardus dari kolong. Perhatiannya kemudian teralih pada mesin kasir dan memberikan Jimin secarik struk.

“Kau bisa mengambilnya nanti di kasir.”

“Terimakasih banyak.”

Setelah saling membungkuk, Jimin berlalu dengan troli kosong di depannya. Di dorongnya troli itu ke blok makanan.

Ia menghentikan langkahnya tepat di depan deretan kotak-kotak sereal. Memperhatikan satu demi satu dan berpikir mana kiranya yang akan disukai Sunyoung. Ia meraih kotak sereal berwarna putih. Membaliknya dan membaca informasi bagian belakang, meskipun ia sendiri tidak yakin apa ia memahami itu semua.

Jimin meletakkan kembali kotak serealnya. Sereal sepertinya kurang cocok, mungkin ia butuh susu sebagai pelengkap? Atau mungkin—

“Madu?”

Ia mengedikkan bahu dan mulai mendorong trolinya. Mungkin itu adalah pilihan yang tepat hingga Jimin secara sadar tidak sadar menjejakkan kakinya pada etalase penuh botol madu. Diambilnya satu lusin botol ukuran kecil ke dalam troli. Kemudian kembali mendorong untuk mendapatkan pisau dan kantong plastik hitam ukuran besar.

Melintasi lemari pendingin daging, Jimin sempatkan untuk berhenti sejenak dan memilah-milah. Pilihannya jatuh pada beberapa lembar tuna berwarna merah segar yang terbungkus apik di atas piring stereofoam.

Jimin memilih pisau ukuran besar yang biasa ia lihat di tukang daging. Beruntung sekali ia dapat memperoleh plastik hitam juga di swalayan ini. Setelah merasa cukup dengan bahan belanjanya, ia berderap menuju kasir. Tapi, di perjalanan lagi-lagi lelaki itu berhenti sejenak. Menarik trolinya yang sempat maju beberapa senti dan menekurkan diri di depan bungkusan rumput laut. Entah kenapa, lelaki ini suka sekali memberi pasangannya hadiah.

Ia mengambil satu bungkus ukuran medium, kemudian melanjutkan berjalan sambil memandangi trolinya sendiri. Tuna, madu, rumput laut, pisau dan plastik. Tinggal menunggu dua kardus jeruk di depan sana. Ya, Jimin pikir itu semua cukup.

***

Jimin berjalan sambil membawa belanjaan di atas alas berpasir. Taksi menurunkannya dekat dengan penginapan. Ia patut bersyukur akan hal itu, karena jelas membawa dua kardus jeruk bukanlah perkara mudah.

Jimin menelengkan kepalanya ke samping. Kardus di depan wajahnya membuat ia mau tak mau harus melakukan hal itu dan berhati-hati sepanjang jalan. Ia bisa melihat dengan sedikit-sedikit pintu cottage yang hendak ia buka. Susah payah tangannya menjulur ke depan dan memutar kenop pintu itu hati-hati. Sementara lengannya yang lain harus menahan beban.

“Sunyoung!” serunya begitu tiba di dalam.

Segera ia simpan belanjaannya di atas konter dapur. Meregangkan ototnya sepanjang jalan menuju kamar dan mendapati Sunyoung masih berkutat dengan macbook.

“Kau masih sibuk?” Jimin merunduk, mensejajarkan kepalanya dengan Sunyoung dari belakang.

“Eh, kau sudah pulang?” wanita itu berkata, tanpa berbalik. Perhatiannya masih saja terpusat pada layar.

“Hmm.” Jimin menarik kursi dari meja rias dan duduk di samping Sunyoung dengan tatapan ikut mengarah pada layar. “Kau sudah dapat informasinya?”

Terdengar jelas Sunyoung menghela napas. Tangkupannya pada mouse terlepas dan kini ia menoleh, menatap Jimin. “Ceritanya panjang.”

“Jadi begini, dari informasi yang kudapat, Byunsoo adalah seorang pengusaha restoran sukses. Dia punya banyak cabang, termasuk di Pulau Jeju ini. Dan prediksiku, dia di sini sedang mengontrol restoran lalu tewas dibunuh oleh rivalnya.”

“Lalu, bagaimana dengan alamat rumahnya?”

“Aku mendapatkannya, sekaligus alamat restorannya.” Kepalanya kemudian mengarah pada permukaan meja. “Nah, aku sempat menulisnya di sini.” Diacungkan secarik kertas berwarna oranye.

“Analisamu tajam. Aku menyukainya.”

Sunyoung mengangkat bahu, tersenyum. Seolah-olah itu bukan perkara besar.

Kelopak mata Jimin turun hampir menutupi seluruh bola matanya ketika ia menunduk membaca tulisan tangan Sunyoung. Wanita itu telah bekerja keras, membuat Jimin terpekur beberapa jenak dan membiarkan berbagai pikiran memasuki otaknya. Ia lalu tersenyum, masih menatap kertas itu ketika ia mengingat kejadian di swalayan.

Dia bilang bahwa istrinya hamil. Entah kebohongan macam apa yang dilontarkannya tadi. Padahal jelas-jelas ia sama sekali belum melakukan hal itu bersama Sunyoung. Ia juga tak berpikir akan melakukannya sekarang, rasanya tidak tepat saja. Keadaan sedang tidak mendukung dan tak ada satupun yang tau apa yang akan terjadi kelak. Ia akan menunda setidaknya hingga kasus ini selesai.

“Jimin?”

“Hm?” Jimin menoleh, menahan senyum.

“Kenapa?”

Jimin hanya menggelengkan kepala. Dia bangkit dari kursi dan menarik lengan Sunyoung erat. Wanita itu berjalan terhuyung di belakangnya dan berusaha menyamakan langkah. Lengan kekar Jimin menggeser pintu kaca dan melangkah ke luar diikuti Sunyoung yang muncul dan berhenti pada posisi sejajar.

“Kau harus menikmati ini.” Jimin mengangkat wajahnya ke udara, dadanya mengembang ketika ia menarik napas dalam. Tampak mencoba untuk menyatu dengan alam. Matanya memicing selagi berhadapan dengan langit, menahan silau.

Sunyoung memerhatikan Jimin dari samping dengan sedikit menengadah. Sejurus kemudian ia mengedarkan pandang dan menyadari bahwa ada banyak keindahan yang tak sempat ia nikmai. Ditariknya napas dalam sementara matanya yang bening memantulkan riak laut di depan sana.

“Jangan lupakan kalau kita sedang berbulan madu.” Jimin menoleh, kini matanya sudah terbuka meski segaris.

“Sunyoung.”

“Hm?”

Jimin menatap kedua mata Sunyoung lamat-lamat. Pandangannya kemudian turun pelan-pelan melewati hidung menuju dua belah bibir Sunyoung yang merah muda. Kepala lelaki itu menyerong secara otomatis, mengambil posisi yang tepat.

Bibir Jimin yang rekah basah … ada celah di antara dua belah bibirnya yang terbuka dengan getar, siap memagut milik Sunyoung. Belahan di bibir bawah Jimin sempat terlihat oleh wanita itu, membuatnya berpikir sudah berapa banyak wanita yang meninggalkan jejak di sana. Namun, semua pikirannya menguap begitu saja ketika ia bisa dengan jelas mendengar suara bibir mereka beradu.

Jimin memeluk pinggang Sunyoung erat, sementara wanita itu mulai melingkarkan lengannya pada leher Jimin.

Oh, Surga.

Mencium pun tak pernah Jimin lakukan dengan kasar. Seolah ia menikmati setiap sentinya dengan tenang, tak ingin mulut wanita itu terluka sama sekali.

Keduanya melepaskan ciuman mereka dan membuka mata pelan-pelan. Menatap satu sama lain disusul oleh sebuah tawa ringan. Menampilkan deretan gigi putih yang baru saja keduanya selami.

***

“Kau tahu apa yang ada di pikiran wanita tua itu?” Jimin mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Matanya kemudian menerawang langit-langit dengan tangan terlentang santai.

“Wanita di swalayan tadi?” tanya Sunyoung. Ia melangkah masuk melewati pintu kaca dan menggesernya hingga rapat dengan dinding. “Memangnya ada apa?”

Sebuah senyum tiba-tiba saja terbit di bibir Jimin. pipinya terangkat dengan guratan seperti kucing, menenggelamkan matanya sampai segaris. Sebuah napas kekehan menguar dari celah kedua bibirnya, sementara bahunya mengedik masih di atas ranjang. “Dia percaya waktu aku katakan kamu sedang hamil.”

Sunyoung mengangkat bahunya sekilas dan duduk bersila di atas kasur. Celana jeansnya semakin saja memendek, menampilkan kulit putih susu serta urat-urat yang samar. “Yah, logikanya memang begitu. Mungkin dia berpikir sama seperti yang orang-orang umum lakukan.” Tangannya terjulur melewati badan Jimin, meraih guling. Ditumpuk guling itu di atas paha, menutupi kulitnya yang tersirap.

“Itulah masalahnya, terlalu sejalan dengan kebiasaan umum.” Jimin bangkit, menumpuk beberapa bantal bulu angsa dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. “Padahal orang-orang selalu punya alasan untuk berbuat hal yang paling dilanggar sekali pun.”

“Kau pernah dengar Allena Vick?” lelaki itu bertanya, menarik pundak kecil Sunyoung dalam rangkulannya.

“Allena Vick?”

“Dia penulis. Ia tidak punya keturunan hingga usia dua tahun pernikahannya. Semua orang berpikir dia tidak bisa hamil. Ya, kau tau … orang-orang selalu begitu. Menafsirkan dengan amat mudah tanpa mengetahui apa-apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak pernah mengetahui bahwa di balik sebuah tindakan pasti ada alasan kuat yang mendasari. Kadang, aku merasa punya pemikiran yang terlalu jauh. Tentang bagaimana orang-orang itu akan menjadi di kemudian hari. Apa di situ aku masih tetap seperti ini? Atau bagaimana? Kadang aku merasa memikirkan itu terlalu detail dan itu cukup menganggu.”

“Kamu sering merasakan hal itu?” Sunyoung mengintip iris hitam kelam Jimin yang sekarang berkelebat ke segala arah.

“Kadang-kadang … di beberapa kasus,” jawabnya, mengangkat bahu.

“Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada Allena Vick?”

“Setelah dua tahun berlalu, ia dan suaminya di karuniai anak yang cantik. Disusul oleh kehadiran sepasang anak kembar dan ia sekarang tengah mengandung lagi.” Jimin membenahi posisi duduknya dan bersandar lebih santai. “Orang-orang tidak pernah tahu kalau sebenarnya ia dan suami sudah sepakat untuk menunda kehamilan. Allena bilang bahwa ia tidak mau jika nanti ia harus mengetik naskahnya dengan perut buncit. Mungkin laci keyboard itu akan bersirobok dengan perutnya, bangkit dan duduk di atas kursi dengan perasaan yang sulit. Atau, membentak anak-anaknya ketika ia sibuk menulis. Itulah alasan ia menunda kehamilannya, ia hanya tidak ingin semua hal itu terjadi. Tapi, seperti biasa … orang-orang dengan mudah berpikir sesuai dengan aturan umum.”

Jimin mengendurkan rengkuhannya dan membiarkan punggung mereka lebih leluasa. “Aturan umumnya, kau menikah, mengandung dan punya anak. Padahal pernikahan tidak sesederhana itu, aku yakin.”

“Dan kasus Allena Vick hanya contoh kecil dari betapa banyaknya orang sok tahu di dunia ini,” lanjutnya lagi.

Sunyoung menghela napas panjang. Beberapa percakapan mereka memang terkadang bermuara pada lontaran pertanyaan dari bibir Jimin, bertanya hal ini-itu yang tidak pernah Sunyoung ketahui dan akhirnya lelaki itu kembali menjelaskan … betapa mereka tinggal di dunia yang kejam. Membuat Sunyoung membuka mata bahwa dunia bukan sepetak tanah yang ia jejaki saja. Setiap saat, setiap detik, selalu ada kejadian baru yang tak mereka ketahui di luar sana. Seorang bayi mungkin saja lahir dan di sisi yang lain seorang baru saja meregang nyawa. Tak ada yang bisa memprediksi. Maka, berkali-kali Jimin tekankan bahwa hidup dalam kefanatikan tidak akan membuahkan apa-apa. Ia ingin Sunyoung melihat apa yang sebenarnya terjadi dan menjelajah.

“Hey.” Jimin menatap Sunyoung seraya menahan senyum. Ditiliknya mimik wajah itu lekat. “Kau tau satu hal?” wajah nakal Jimin mendekat, tangannya kemudian menggelitik perut Sunyoung dengan riuh sementara seringai mengembang di wajahnya.

“A … a … apa?” sahut Sunyoung susah payah, bercampur-campur dengan gerakannya menahan geli.

“Pasangan suami istri bukan sekedar tentang sex. Melindungi satu sama lain lebih penting,” Jimin berbisik dengan lembut.

Mereka terkikik, Jimin memperlakukan Sunyoung seperti ia sedang menggelitik anak kucing dan Sunyoung hanya bisa menggeliat geli. “Hhhh, Jimiiin!”

“Itu benar, kan, Sunyoung?” tanya Jimin retoris. Melepaskan gelitikannya dan mengatur napas yang menderu.

Dua orang itu kemudian membetulkan posisi duduk mereka. Dengan wajah tersenyum, Sunyoung menoleh, “Kenapa?” tanyanya penasaran.

“Kenapa? Apanya?”

“Kenapa kamu melibatkan aku pada kasus ini?” tanyanya lagi, masih tersenyum meminta jawaban.

“Karena aku tau kamu bisa.” Tanpa aba-aba, tanpa memutar manik atau perilaku menimbang-nimbang lainnya, Jimin menjawab. Mantap ia berkata demikian, seolah mengucapkannya tak perlu sambil berpikir. “Aku tau kamu pintar, Sunyoung.”

Sunyoung tersenyum tipis sambil mengangkat wajahnya, memandang ornamen gips yang melingkupi langit-langit kamar mereka. Pikirannya mengudara pada kejadian beberapa jam lalu di dalam kamar mandi. “Aku ingat satu hal,” ucapnya, menoleh.

Lelaki di hadapannya menjawab dengan gimik wajah yang penasaran.

“Byunsoo tidak mengeluarkan bau pesing.” Dipandanginya wajah Jimin dan menerka-nerka apa yang ada di pikiran lelaki itu. “Kau tau? Sabuknya tidak terkait dengan sempurna. Lalu aku mengira-ngira bahwa itu karena ia hendak buang air kecil. Tapi, aku tidak mencium bau urine di sana.”

Jimin mengangkat alisnya percaya tidak percaya, seolah-olah apa yang dilontarkan Sunyoung bukan sebuah inti dari kasus ini. “Terlalu banyak kemungkinan,” sangkalnya. “Byunsoo mungkin baru selesai buang air kecil, menyiramnya dan belum sempat membenarkan ikat pinggangnya lagi. Bisa juga ia baru akan buang air kecil dan bau urinnya tertutupi oleh bau tubuhnya sendiri yang luar biasa. Air itu juga seharusnya akan keluar dengan alamiah begitu ia mati. Atau mungkin dia sebe—”

“Ah, benar juga.”

“Sunyoung, aku belum selesai bicara.”

Mata mereka bertatapan beberapa saat. “Tapi, ada baiknya kita melewatkan hal sepele samacam itu dan memikirkan hal-hal yang lebih penting. Iya, kan?”

Yeah, sabuk bukan inti dari kasus ini,” jawab Jimin, melemparkan pandangannya ke luar jendela dan mendapati langit tengah berubah menjadi jingga. “Sudah sore. Sebentar lagi aku akan memulai semuanya ….”

“Ini akan menjadi awal untuk hidup kita, Sunyoung. Bersiaplah untuk perubahan. Mungkin ini terdengar aneh, tapi hidup kita setelah ini akan menjadi sangat cepat. Seperti kau tahu? Bepergian ke sana ke mari dengan gesit. Kita akan berpikir keras lebih dari biasanya.”

Mata Sunyoung menatap lurus bibir Jimin dengan tatapan lemah yang memahami. Pandangannya kemudian terlempar pada karpet buludru melewati pundak lelaki itu. “Itu … mungkin kenyataan yang harus kita terima,” timpal Sunyoung, dengan tatapan kosong.

“Kemarilah.” Jimin meraih kepala Sunyoung dan menyandarkannya di antara leher dan dada. Dengan kepala menengadah sementara iris mengintip ke bawah, Jimin mulai berkata dengan lembut, “Kamu tau kalau aku mencintaimu, kan?”

“Hmm.”

“Besok pagi, aku akan pergi ke Seoul dengan pesawat.”

Buru-buru Sunyoung menegakkan badannya dan memandang Jimin lekat-lekat. “Kamu? Sendirian? Lalu aku di sini bag—”

“Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin,” balas Jimin, menatap mata Sunyoung dalam dan meyakinkan.

“Tapi, apa yang akan kamu lakukan di Seoul?”

“Membuat sebuah alibi yang akan mengecohkan kasus ini. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Jadi, kamu …,” Jimin menggantungkan ucapannya, tersenyum memandangi Sunyoung seraya meniup hidung wanita itu jail, “tidak usah khawatir.”

“Aku percaya.” Sunyoung tersenyum simpul dan kembali bersandar seperti sedia kala.

Jari-jari Jimin mengusap helaian rambut Sunyoung sekilas. “Meskipun kita terpisah jauh, tapi aku percaya kita masih bisa merasakan satu sama lain dan itu berarti kita masih bersama.” Jimin menghela napas, memandang televisi datar di depan ranjang mereka dengan tatapan mengawang-ngawang. “Meskipun aku mendapati diriku lelah, sepanjang itu bersamamu, aku tidak apa-apa.” Pelan, Jimin mendorong bahu Sunyoung. “Aku harap kamu pun begitu.”

Beberapa detik pandangan mereka bertemu. Kelopak mata Sunyoung menggeletar dengan canggung dan ia memilih untuk memindahkan tatapannya pada selimut putih yang mereka duduki. Sunyoung rasa perkataan Jimin tadi bukanlah sesuatu yang harus ia jawab.

“Sunyoung.”

“Hmm?” Perempuan itu kembali menoleh dengan jejak tersipu menapaki wajahnya.

“Aku pernah memelihara seekor anak ayam waktu kecil. Waktu itu aku masih kelas tiga SD.” Jimin menghentikan ucapannya, mengingat-ngingat bagaimana percisnya kejadian itu terjadi. “Aku pernah menangis karena kardus tempat tinggalnya kosong. Aku bilang pada ibu bahwa ayam itu menghilang dan menunjukan kardusnya yang kosong.” Ia terkekeh sebentar. “Lalu ibu bilang kalau anak ayam itu akan kembali lagi karena inilah rumahnya.”

Mereka saling berpandangan. “Kamu mengerti maksudnya, Sunyoung?”

Wanita itu hanya mengangguk pelan sementara ujung-ujung bibirnya dengan kompak terangkat samar.

“Aku ingin seperti anak ayam yang selalu kembali lagi ke rumah. Sejauh apapun dia pergi, tapi dia tahu bahwa rumahnya bukanlah di situ. Sedangkan aku … adalah Jimin yang akan selalu bermuara padamu. Jadi, sejauh apapun aku pergi, kamu tidak usah khawatir. Aku akan kembali seperti anak ayam kembali pada rumahnya.”

Sunyoung menghela napas dengan jelas. Bibirnya perlahan terbuka dan berkata-kata dengan ragu. “Jimin ….”

“Hmm?”

“Ka-kamu … tau kan … sejak pernikahan kita … kamu sama sekali belum menyentuhku.” Ia meremas ruas jarinya dengan kikuk.

“Kita bahkan sedang bersentuhan sekarang, Sunyoung.” Tegas Jimin dengan senyuman melecehkan seolah berkata yang-benar-saja.

“Bukaaan.” Digoyangkan dua tangannya di udara sementara dua matanya terpejam dengan kuat. “Ma-maksudku … malam pertama kita.”

Jimin mengangkat kepala dan tatapannya menanjak pada ornamen di tepi langit-langit kamar. Ia menghela napas berat. “Aku sangat ingin melakukannya, asal kamu tahu.”

“Lalu … kenapa kita tidak ….”

“Aku tidak ingin kamu hamil.” Kemudian ia cepat-cepat meralat. “Maksudku, ketika kasus ini berlangsung.”

“Itu akan sangat merepotkanmu, ya?”

“Ti-tidak, bukan begitu maksudku, Sunyoung. Lagipula bukan aku yang repot, tapi kamu. Menjaga kandungan tidak pernah semudah kelihatannya, dan kalau kau keguguran itu akan lebih menyakitkan lagi untukku. Aku hanya ingin kita fokus pada satu hal dulu. Apapun yang kamu inginkan sebisa mungkin akan aku coba penuhi, tapi kalau masalah itu … aku tidak bisa kalau harus melakukannya sekarang.”

Sunyoung mengangguk lemah. “Kamu benar waktu mengatakan bahwa kamu punya pemikiran yang panjang dan detail. Lalu … sekarang … aku juga mulai merasa terganggu dengan hal itu.”

Jimin meletupkan tawanya dan memandang Sunyoung dengan mata hampir terpejam. “Kamu benar-benar menginginkannya, ya?” Ia menggoda.

Aanni … hanya saja—”

“Aku begitu menggairahkan?”

Sunyoung menatap dua mata tertawa di hadapannya dengan tatapan sebal.

“Kemarilah,” sambut Jimin, merentangkan lengan. Wanita itu lantas mendaratkan pelukannya pada tubuh Jimin dan tenggelam begitu cepat. “Dengarkan aku,” tuturnya, disusul oleh sebuah kecupan singkat di atas halaian rambut hitam legam. “Ada banyak orang hebat di dunia ini yang tidak bisa mengendalikan hasrat. Lalu apa yang terjadi pada mereka?” Jimin menundukan kepalanya dengan hati-hati, tak ingin mengusik posisi. “Mereka hancur, Sunyoung. Jangan biarkan nafsu mengalahkan potensimu yang sesungguhnya.”

“Aku mengerti,” balas Sunyoung, samar di antara pelukan.

Diam-diam ia merutuki dirinya sendiri untuk meminta hal semacam itu pada Jimin. rasanya baru saja kemarin lelaki itu memohon agar mandi bersama, lalu hari ini keadaan berbalik. Dengan bodohnya Sunyoung yang meminta, seolah mengemis pada suaminya sendiri untuk melakukan sesuatu yang semestinya bisa dilakukan seorang lelaki dengan penuh nafsu. Tapi mungkin kali ini pengecualian. Iya, Sunyoung harap hanya kali ini saja.

Bisa wanita itu rasakan pipinya empuk dan hangat bersandar pada dada Jimin. Sunyoung membuka matanya perlahan. Dari balik helaian rambutnya yang jatuh ke dahi, ia bisa melihat lengan atas Jimin yang dibalut jaket, begitu dekat dengan matanya. Terjulur melewati jangkauan pandang namun ia tahu tangan itu yang mendekapnya sekarang.

“Beristirahatlah, aku akan memulainya sekarang,” bisiknya. “Jangan datang ke kamar mandi … aku tidak mau kamu melihatku melakukan itu.” [ ]