Tags

, , , ,

 girlinsugass

[a girl in suga’s phone]

Fanfiction by Julian Yook

Cast: Suga, Kim Taehyung

Detective Story | General Audience | 3shoot!

***

previous chapter

1 | 2

“Aku Junhyung. Senang bertemu denganmu, Hana.”

Aku memperhatikan penampilannya dari atas hingga bawah. Dia terbilang lumayan untuk ukuran seorang detektif.

“Bisa kita keluar sebentar?”

Saat itu aku tersadar bahwa dia sedang menatapku dan mengangkat sebelah alisnya.

“Oh, hm, kau tidak mau masuk dulu ke rumahku?” Kubuka pintu rumahku lebih lebar, menyingkir dan memberikannya ruang untuk melihat lebih dalam. “Aku sudah membuat secangkir kopi untuk menyambut kedatanganmu.”

“Terimakasih, mungkin lain kali,” jawabnya. “Jadi, bisa kita keluar sebentar dan berjalan-jalan? Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan terkait kasus ini.”

“Oh, tentu ta—” Aku hendak berbalik namun Junhyung langsung menyela, “Aku sudah meminta izin ibumu tadi di telepon.”

Aku keluar dengan penampilan seadanya. Kami berjalan pelan mengitari bangunan-bangunan tinggi dengan tangan terbenam di saku. Tak banyak yang kuperhatikan selain gerak sepatuku sendiri. Beberapa kali dengan usil aku mencoba menyamakan langkah sepatuku yang nampak mungil ketika bersanding dengan sepatu milik Junhyung. Dia menyadari itu dan terkekeh sebentar sebelum selanjutnya membuka pembicaraan dengan serius.

“Dari catatan yang kudapatkan,” cetusnya, “Kita punya petunjuk berupa foto dalam ponsel Suga. Benar begitu, Han?”

Aku merapatkan bibirku dan mengangguk dalam.

“Lalu, kudengar … kamu telah mengetahui identitas wanita itu …,” lanjutnya. “Bisa kutahu siapa dia?”

Aku menarik napas dalam dan mengumpulkan energi untuk mengungkapkan segala keanehan yang kudapat akhir-akhir ini. “Namanya Grace.”

“Lalu?”

“Dia hadir di pemakaman Suga. Aku tidak pernah menyangka bahwa dia masih saudaraku juga.” Aku menggelengkan kepala, tidak paham. “Hanya itu yang kuketahui tentang Grace. Oh iya! Dia pernah berkata bahwa dia seorang suster.”

Junhyung tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menunjuk sebuah kursi taman di depan sana.

“Kau bisa kesana lebih dulu.” Dia memberitahu sambil menepuk pundakku. “Aku akan membeli minuman hangat untuk kita, nanti aku menyusul.”

Okay.”

Aku berjalan sendirian dan menyandarkan punggung pada kursi taman yang terasa dingin. Selagi menunggu, pikiranku sempat-sempatnya memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Aku tidak tahu mengapa, namun kurasa ini semua terasa aneh. Tentang Grace, kematian Taehyung dan kini kehadiran—

“Junhyung.” Dia datang dan menyodorkan kopi kaleng kepadaku. Aku menerimanya sambil bergeser mempersilahkan dia duduk. “Terimakasih kopinya.”

“Ahh …,” ia mendesah setelah menjatuhkan tubuhnya di kursi dan bersandar begitu nyaman.

Aku melihatnya dari pinggir dan bisa kutangkap sebuah sorot lelah tersirat jelas di matanya. Entah apa yang ia lakukan akhir-akhir ini. Namun kantong mata itu cukup membiarkan aku tahu bahwa ia kurang tidur.

“Jadi detektif itu melelahkan, ya?”

“Tak perlu ditanya.”

Aku terkekeh sebentar dan menyadari kaleng yang aku pegang ini berisi …

“Kopi?”

Junhyung menoleh sebentar dan menatapku bingung. “Iya. Kenapa?”

“Atas tolakan terhadap jamuan minum kopiku tadi, kupikir kau tidak suka kopi.”

“Haha, tidak,” jawabnya, “Jadi, bagaimana kelanjutan pembicaraanmu tadi?”

“Tentang Grace? Aku tidak tau lagi. Hanya itu informasi yang kudapatkan.”

Junhyung mengangkat kaleng kopinya dan menyesapnya pelan. Pandangannya liar menatap sekitar. Tapi aku yakin di balik pandangannya itu, otaknya sedang menganalisis dengan amat keras. Tak lama kemudian ia mengangguk dan merapatkan bibirnya untuk menghilangkan sisa kopi.

“Apa yang pernah Taehyung katakan padamu?”

“Taehyung? Dia detektif yang aneh,” ujarku. “Dia tidak datang pada pemakaman Suga. Apa yang dia ucapkan tak pernah begitu kuingat. Kecuali satu hal.”

“Apa?”

“Waktu itu ….

***

“Tapi kau bilang kasus ini tidak rapih, Taehyung. Seharusnya ini mudah.”

Kudengar embusan napas yang keras di pinggir sana. Disusul oleh gemeresak suara mantel dan sofa yang bergesek lembut, bisa kupastikan ia juga sama denganku … membenarkan posisi dan bersandar nyaman.

“Bukan begitu, hanya saja waktu kita tak banyak, Han.”

***

“Iya, dia pernah berkata seperti itu! Pada mulanya aku tidak terlalu memedulikan, tapi … mendengar berita kematiannya membuatku tersadar. Apakah ini yang dia maksud bahwa waktunya tidak banyak?”

“Bisa jadi.”

Masing-masing dari kami diam dan membiarkan keheningan mengambil alih kali ini. Aku tak menyia-nyiakannya, segera kuteguk kopi kaleng hingga habis.

“Junhyung?”

“Hm?”

“Aku baru mengingat sesuatu.”

Junhyung buru-buru menghadap ke arahku. Kuperhatikan wajahnya begitu penasaran, hingga alisnya terangkat-angkat. “Apa?”

“Aku melihat poster Taehyung di Mall.” Aku menunggunya berbicara. Namun dia tak melakukan apapun selain menggerakan bibirnya setengah terbuka, ragu-ragu. “Apa dia seorang artis?” sambungku.

Junhyung seperti tersadar dan kembali pada posisi semula sambil mengangkat pundaknya, “Aku tidak tahu.”

“Seharusnya kamu tahu, Junhyung. Kamu temannya, dan mustahil seorang teman tidak saling berkomunikasi seperti itu.”

“Kita hanya tidak membicarakan masalah pribadi.”

“Oh, Ya Tuhan, tolonglah. Apakah hal itu masih bisa disebut masalah pribadi? Atau … kamu sama ketinggalan jamannya denganku sampai-sampai tidak tahu bahwa Taehyung adalah seorang pemain teater?” cecarku. “Tapi itu mustahil! Karena di sini kau adalah temannya, Junhyung! Apa yang kau sembunyikan?”

“Tidak ada.”

“Kau yakin?”

Kulihat Junhyung menarik napas keras-keras hingga kedua pundaknya terangkat, “Aku yakin.”

“Satu hal lagi, Taehyung terlihat bingung ketika kuusulkan dia untuk mendeteksi wajah perempuan dalam ponsel Suga.”

“Dia memang seperti itu.”

Aku berdecak dan mengalihkan pandanganku darinya. Entah mengapa semua yang terlontar terlihat sangat tidak meyakinkan bagiku. Mereka seperti sedang menyusun sebuah rencana, aku sendiri tidak mengerti keuntungan apa yang akan mereka dapatkan dari menjalankan drama seperti ini, menipuku dan merencanakan sesuatu.

“Junhyung,” ujarku, pelan nyaris berbisik. “Yang aku inginkan hanyalah mengetahui pelaku pembunuhan Suga. Apakah itu terlalu berat untukmu?”

Manik matanya menatap ke arahku. Tak ada yang terlontar untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia mendesah dengan pasrah. “Aku mengerti, Han. Aku akan berusaha lebih keras lagi.”

***

Pagi ini aku mematut diriku di depan cermin. Telepon dari Junhyung telah membangunkanku jauh lebih pagi dan menyuruhku datang ke kantor polisi hari ini. Dia berkata bahwa ada beberapa data yang hendak ia lengkapi. Aku menurut saja, selain itu juga hatiku terus berharap agar kali ini ia menjalankan tugasnya lebih baik lagi.

Aku keluar kamar sambil menepuk-nepuk mantelku. Ketika aku selesai, baru kusadari bahwa rumah ini terasa sangat sepi.

“Ibu?”

Aku melihat sekitar, hanya ada benda-benda yang bergeming. Tak kutemukan sosok ibu dengan baju bunga-bunga dan celemek pastelnya. Ketika aku tiba di dapur pun tak ada bedanya. Aku hanya menemukan semangkuk sereal berwarna-warni kesukaanku dan cangkir tertutup rapi yang kuduga berisi susu.

Kau bisa menyampurkannya sendiri, kan, Sayang? :- )

Ibu

Sebuah memo di samping mangkuk ini berhasil membuatku tersenyum geli. Aku duduk dan meletakan tas tanganku di meja. Mulai menyantap sereal sendirian dan bertanya-tanya, kemana ibu pergi?

***

“Junhyung!”

Lelaki yang terlihat sedang berjalan terburu-buru itu membalikkan badan dan menyipitkan matanya sebentar.

“Han!” sahutnya kemudian. “Kau tepat waktu.”

Junhyung merangkulku di bawah tubuhnya yang kokoh. Kurasa suasana hatinya sedang bagus hari ini, sepanjang lorong kantor polisi ia terus saja bersenandung kecil dan sesekali tersenyum. Semoga saja kebahagiaannya dapat memberikan efek yang bagus untuk penyelesaian kasus Suga.

“Belok di sini,” terangnya, menuntunku sepanjang lorong. “Nah, sekarang kita masuk ke ruangan ini.”

Aku mematung sebentar. Memandangi pintu berwarna telor asin itu beberapa saat. Saat aku mengerjapkan mata, semua ini tak berubah. Aku masih berdiri di depan pintu dan Junhyung menarikku masuk.

“Junhyung,” ucapku, menatap seisi ruangan lamat-lamat. “Terlalu banyak cermin dalam ruangan ini.”

Junhyung hanya duduk pada kursi di tengah ruangan dan mengeluarkan beberapa berkasnya, ia sama sekali tak memedulikan ucapanku.

“Ini seperti …,” ucapku masih mengarahkan kepala ke segala arah. “Ruang penyidikan, Junhyung.”

“Tepat sekali,” tambahnya cepat. “Sekarang, kau boleh duduk di depanku, Han.”

Aku mengerutkan alis dan memandangnya tak percaya. Namun dia malah memberiku senyuman yang terkesan sombong seolah mengungkapkan bahwa tak ada yang salah dari semua ini.

“Kau yakin?”

“100%.” Dia mengangkat alisnya dengan gimik menawarkan, “Apa perlu aku menarik kursi itu untukmu, Han?”

“Tidak perlu.”

Aku melepas mantelku dan meletakkannya di meja bersama tas kemudian mendengus dan melihat lagi ke sekeliling ruangan dengan waspada.

“Tidak akan ada yang menerjangmu,” ucap Junhyung, membuatku menatap ke arahnya. Dia sama sekali tak melihat ke arahku, hanya menulis sesuatu di kertas-kertasnya. “Kau tidak perlu takut.”

Segala macam pikiran langsung menggerayangi otakku. Beragam spekulasi tiba-tiba muncul begitu saja. Membuatku melayang dan merasa bukan berada di kantor polisi.

Aku tahu dari wajahnya yang tadi terlihat bahagia dan sekarang nampak sok sibuk, Junhyung telah merencanakan sesuatu. Dia menjebakku dan memutar balikkan fakta, ya kita lihat saja apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

“Hana Kim,” ia berdehem sebentar. “Bisa kau jelaskan padaku di mana kau berada pada 12 November?”

Detik ini rasanya meja di antara kami memanjang, semakin membentangkan jarak antara aku dengan Junhyung. Tak ada yang bisa aku rasakan lagi kecuali perasaan dipermainkan oleh segala yang dia lakukan. Semua yang ada di sini membuatku muak. Tak terkecuali orang-orang di balik cermin dua arah itu. Mungkin mereka mengira aku tak tahu keberadaan mereka. Tapi maaf, bau pecundang tak akan mungkin lolos begitu saja.

Lalu sekarang apa? Junhyung dan senyum sombongnya yang melecehkan itu? Apa ada yang lebih memuakkan lagi selain ini?

“Hana, kau bisa dengar suaraku?”

Sepertinya aku harus memotong kukuku.

“Hana, seharusnya kau menjawab pertanyaanku.”

Ya, mungkin aku akan memotongnya nanti.

“Hana.”

“Apa?” Aku mendongak melihat wajahnya yang nampak kesal. Cukup mengesalkan hingga aku sendiri kesal melihat itu. Kedua matanya memandangku dalam, entah apa yang terlintas di pikirannya. Namun kurasa itu belum seberapa dibanding perasaan kesalku terhadapnya. Aku dipanggil ke sini dan tiba-tiba ditanyai hal seperti itu seolah-olah aku adalah pembunuhnya. Apa yang sebenarnya dia inginkan?

“Aku bertanya padamu dan kupikir seharusnya kau menjawab itu, Han.”

“Lalu kau pikir aku yang membunuh Suga, begitu?”

“Aku tidak pernah bicara seperti itu.”

Aku mengangguk beberapa kali disertai sunggingan senyum lalu berkata dengan nada yang menyenangkan. “Well, lihatlah cara lelaki ini membalikkan kalimat. Sangat menghibur!” Kucondongkan wajahku ke depan dengan kedua tangan terlipat di atas meja. “Coba kau bayangkan, kau jadi aku. Ditelepon pagi buta dan kau menurut. Di tempat tujuan yang kau dapati adalah sebuah tuduhan secara tidak langsung. Come on, Junhyung … buka matamu! Aku sayang Suga, aku tidak mungkin membiarkan siapa pun menyakitinya!”

Dia mengembuskan napas pelan. Dibukanya halaman demi halaman berkas itu dan mengetuk-ngetuk pulpen di atasnya. “Grace … keterangan dari wanita ini mengarah kepadamu.”

“Di mana kau bertemu dengannya?”

“Rumah sakit.”

“Aku benci mengungkapkan ini kepadamu. Tapi kurasa Grace adalah orang yang pintar, dia bersembunyi dan melimpahkan semuanya kepadaku. Lalu satu hal lagi … Suga sering sekali sakit. Bukankah suatu kemungkinan bahwa Grace dan Suga bertemu sebagai suster dan pasien. Hingga hari itu tiba dan semuanya terjadi begitu saja,” paparku.

Aku menelan ludah dan memandangi meja di hadapanku. Sekelebat bayangan tiba-tiba saja melintas. Itu adalah tentang bagaimana Grace dan Suga berkenalan hingga hubungan mereka tak bisa dikatakan sebagai sekedar teman.

Membayangkan Suga tersenyum dan memeluk wanita itu sekonyong-konyong membuatku sakit. Mungkin saja apa yang terjadi sebenarnya lebih parah. Tak menutup kemungkinan bahwa Suga telah menghabiskan sebagian besar harinya dengan berbicara pada Grace dan memberinya apa yang ia inginkan, bahkan nyawa sekali pun. Semakin terbayang bagaimana Suga membubuhkan senyum di bibir Grace melalui bibirnya. Itu belum sampai pada prediksi yang paling buruk. Mereka bisa saja melakukan lebih dari sekedar berbagi senyuman, lebih dari itu. Mungkin sebuah genggaman tangan, pelukan, panggilan sayang dan cin—

Tidak.

Itu tidak tepat! Mereka tidak sepatutnya melakukan itu semua!

“Hana? Kenapakau menggelengkan kepalamu seperti itu?”

Aku mendongkak dan melihat dengan jelas wajah Junhyung yang menatapku penasaran. Ada sedikit kehati-hatian kali ini dari caranya berbicara. Entah ke mana menguapnya segala kesombongan yang sedari tadi menyelubungi dirinya.

“Aku hanya berharap Suga dan Grace tidak pernah bertemu,” aku berujar dengan sungguh-sungguh. Pandangan kami saling beradu dan tak ada satu pun yang berusaha untuk mengalihkan pandangan. “Karena ternyata membayangkan mereka bersama membuatku takut,” dan sakit.

“Aku mengerti. Itu pasti sangat menyedihkan membayangkan Suga dan wanita yang kau tuduh sebagai pembunuhnya menghabiskan waktu bersama-sama. Bukan begitu?” Junhyung berhenti sejenak, menunggu balasan dariku. Aku hanya mengangguk lemah dan memperhatikan bibirnya yang kemudian mulai berbicara lagi, “Beritahu aku apa prediksimu tentang hubungan mereka dan bagaimana ini bisa terjadi. Tolong,” pintanya.

“Oke. Mungkin ini akan membuatku berbicara banyak. Jadi bersabarlah.” Aku menghela napas dalam. “Jadi, begini prediksiku …

Aku paham betul kalau Suga adalah lelaki mungil yang gampang sekali sakit. Sepanjang yang aku tahu, ia selalu membawa masker dan baju hangat kemana pun ia pergi. Aku tidak yakin apakah wanita-wanita di luar sana memperhatikan hal itu atau tidak. Namun kurasa mereka cukup jeli untuk menyadari itu semua, sepertiku.

Aku juga tahu dia punya banyak penggemar meski dia bukan artis. Berjalan bersamanya membuat wanita mana pun merasa bangga, apalagi jika berhasil mendapatkan hatinya, entah akan sebesar apa kepala mereka.

Namun Suga tak terlalu punya banyak teman wanita. Paling-paling mereka adalah teman sekelas Suga atau siapa pun yang pernah sekelas dengan Suga. Semua wanita-wanita itu hanya dia anggap sebagai teman, tak ada yang spesial. Entah kenapa dia tak tertarik, padahal kurasa mereka cukup cantik. Sempat terpikir olehku mungkin Suga memiliki orientasi seksual yang menyimpang. Namun prediksi itu roboh begitu saja karena aku kemudian mengetahui bahwa Suga memiliki ketertarikan pada wanita yang lebih tua darinya.

Hal itu cukup membuatku terkejut dan bersyukur. Setidaknya dia tak seperti yang kupikirkan.

Kembali lagi pada kenyataan bahwa ia gampang sakit. Kurasa dengan intensitas sakitnya itu, sudah pasti terjadi sesuatu antara dia dan seseorang di rumah sakit. Dan aku yakin orang itu adalah Grace.

Mungkin mereka saling mengenal ketika Suga sama sekali tak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Pada masa itu Grace bertugas merawatnya dan ketika mereka berkenalan lebih jauh, hal itu terjadi. Mereka saling jatuh cinta, terlibat percakapan yang banyak melalui ponsel hingga pada akhirnya Suga meminta Grace untuk mengirimkan fotonya. Itulah mengapa banyak sekali foto Grace dalam ponsel Suga.

Entah apa yang Grace minta dari Suga hingga Suga tak bisa memenuhinya. Mungkin Grace mengamuk dan dia datang ke rumahku untuk membunuh Suga dengan pistolnya. Kira-kira begitulah prediksi dariku.”

Junhyung mengangguk dan nampak menggurat sesuatu pada kertasnya dengan serius.

“Kedengarannya cukup masuk akal.”

“Oh, tolonglah, aku mengatakan apa adanya. Semua pasti akan terlihat natural dan masuk akal.”

Junhyung menutup pulpen dan memasukannya ke dalam saku mantel. Dia melihatku sekilas dan menyunggingkan senyuman penghinaan. Aku jadi tidak mengerti, apa yang terjadi pada lelaki ini?

“Terimakasih atas kerjasamanya. Aku harap kasus ini akan segera terungkap,” ucapnya seraya bangkit dan menyodorkan tangannya, menggantung di udara menunggu gapaian tanganku.

Kami bersalaman dan aku hanya membalas perkataannya dengan sebuah senyuman. Aku khawatir akan melontarkan sesuatu yang tidak sopan jika melihat tingkahnya yang seperti ini. Ah, entah sampai kapan aku akan menyimpan sampah-sampah ini di dalam hatiku.

“Aku akan menghubungimu lagi jika aku membutuhkan keteranganmu. Kau siap, kan?”

“Tentu.”

Kami berpelukan sekilas dan dia menepuk punggungku beberapa kali disertai bisikan, “Sampai bertemu lagi, Han.”

***

Setibanya di rumah aku tak/ mendapati perubahan sedikit pun pada rumah ini. Masih saja sepi dan ibu sepertinya belum juga pulang. Kujatuhkan tubuhku pada sofa di ruang tengah lalu meletakan tas tanganku begitu saja di ujung sofa.

Entah sampai kapan aku akan diam di rumah ini. Tapi feelingku begitu kuat bahwa ketika kasus ini terungkap aku bisa dengan aman keluar dari rumah ini dan kembali pada flat kecilku, bersiap memulai kehidupan seperti biasa di tengah-tengah sesak dan padatnya kota Seoul.

Sebetulnya aku masih tak habis pikir bagaimana bisa orang sebaik Suga tewas terbunuh dan itu di rumahku sendiri. Tempat yang semula kukira paling aman. Aku baru menyadari satu hal … berarti pelakunya memiliki akses ke dalam rumah ini dengan mudah? Seharusnya aku tak diam di sini kalau begitu caranya!

Bagus! Lihatlah, sekarang apa yang ada di sekelilingku nampak menyeramkan. Lukisan itu, semua benda yang ada di ruang tengah …. Ahhh! Lagi pula siapa sih yang tega melakukan ini semua? Apakah dia punya gangguan jiwa? Tapi terlalu naif rasanya jika kasus pembunuhan selalu dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa. Selalu saja hal itu yang dijadikan kambing hitam. Padahal yang sebenarnya terjadi hanyalah orang dengan otak kriminal. Kupikir sesedarhana itu.

Kudengar pergerakan dari arah pintu rumahku. Tak lama kemudian ibu muncul sambil menggosok-gosokkan tangannya dan berjalan cepat melintasi ruang tengah.

“Ibu?”

Mungkin dia tak akan menyadari keberadaanku jika saja aku tak menegurnya seperti ini. Dan lihatlah dia sekarang, sedikit terlonjak melihatku dan tersenyum bercampur kaget.

“Hana,” serunya, “Aku tidak tahu kau ada di situ, Sayang.” Dia berjalan mendekat dan duduk tepat di sampingku. Tangannya yang sudah sedikit keriput kemudian mengusap rambutku secara tiba-tiba.

“Dari tadi kau berjalan sambil menunduk, Bu.”

“Maafkan ibu, mungkin aku terlalu fokus pada pikiranku sendiri, Honey,” dia berujar sambil menangkup wajahku dengan dua tangannya. “Kamu tahu kan, Sayang?”

“Apa?”

“Ibu sayang padamu.” Dia langsung meraih tubuhku dan menenggelamkan aku ke dalam dekapannya. Diusapnya punggungku berulang-ulang dan bisa kudengar bibirnya terus bergerenyam samar.

“Maafkan ibu, Maafkan ….”

“Untuk apa?”

“Untuk semuanya. Segala hal yang sudah aku beri dan semua yang belum aku beri. Aku minta maaf atas itu semua, Sayang.”

Daguku bertengger di pundaknya, tak ada pergerakan yang aku buat. Aku hanya heran dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah seperti ini.

“Ibu …,” ucapku, menggeliat, mencoba untuk melepaskan diri. “Sebenarnya ada apa ini?”

Dia malah semakin erat memeluk tubuhku. Bahkan kini getaran dari tubuhnya meyakinkanku bahwa ia sedang menangis di balik sana. Pundakku juga jadi ikut basah dirembesi air matanya.

Aku mencoba untuk memutar otak dan mencari pembenaran atas apa yang dilakukan ibu kali ini. Tapi justru yang kudapatkan adalah sebuah ingatan di mana usiaku masih tigabelas tahun. Itu adalah sebuah memori yang tak dapat aku lupakan seumur hidupku.

Saat itu dimulai ketika aku lulus dari sekolah dasar. Aku dan ibu pulang dari acara kelulusan dengan senyum yang mengembang sepanjang jalan. Dia mengajakku untuk singgah sebentar di salon milik temannya dan membeli beberapa stel baju baru. Tak pernah kusangka bahwa Ibu akan menyuruh pelayan itu memotong rambutku seperti potongan lelaki. Pendek sekali. Juga tentang beberapa stel pakaian yang kami beli, itu semua baju untuk lelaki. Aku sempat kesal karena kupikir ibu tak membelikan baju untukku. Tapi kemudian seraya berlutut ia berbicara bahwa semua baju ini milikku.

Beberapa hari selanjutnya aku didandani sebagai seorang bocah lelaki yang tampan. Orang-orang sampai berpikir bahwa aku ini lelaki sungguhan kalau saja mereka tak mendengarku berbicara. Kejadian itu tak berlangsung lama hingga papa pulang setelah berbulan-bulan tinggal di luar negeri untuk merampungkan proyek terbarunya.

Papa marah besar pada ibu dan dia langsung membakar semua baju baruku hari itu juga. Masih terbayang wajah lelah dan kesal yang tercampur di wajahnya. Mereka berteriak dan menunjuk muka satu sama lain, hingga pada saat papa melunak, ia sadar bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan istrinya.

Aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi. Tapi aku yakin ibu punya masalah dengan jiwanya. Kurasa dia terlalu berambisi mempunyai seorang anak laki-laki namun tidak bisa tercapai hingga titik baliknya adalah ledakan dalam dirinya sendiri.

Aku tidak begitu ingat bagaimana ibu bisa sembuh. Itu sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. yang kuingat adalah papa jadi lebih sering ada di rumah dan memberikan perhatian khusus. Dilanjutkan dengan kehadiran Suga sejak setahun kemarin selagi papa kembali ke luar negeri. Kehadiran Suga tentu saja membuat ibu senang, mengalahkan kesedihannya ditinggal oleh papa untuk kembali bekerja.

Tunggu … apa mungkin penyakit itu muncul kembali setelah sekian lama?

“Ibu … lepas,” rengekku. “Tak ada yang perlu minta maaf. Aku baik-baik saja, Ibu.”

Akhirnya dia menuruti permintaanku. Matanya dengan air mata menggenang masih saja menatapku penuh haru. Dikecupnya kepalaku bertubi-tubi, “I love you, honey … I love you.”

***

“Kau terlihat lebih siap sekarang.”

Aku merapatkan kedua bibirku dan mengangguk tanda setuju. Sekilas kusisipkan rambut ke belakang telinga dan menunggunya melontarkan pertanyaan.

Pagi ini kejadian kemarin terulang lagi. Aku ditelepon Junhyung supaya cepat datang ke kantor polisi dan ketika aku pergi ibu sudah tak ada di rumah. Entah ke mana dia pergi, aku tak sempat bertanya lagi, benar-benar sama seperti kemarin. Juga baru kusadari kalau apa yang dibisikkan Junhyung kemarin benar-benar terjadi sampai bertemu lagi, begitu katanya.

“Oke, kita masuk pada pertanyaan pertama. Aku harap kau menjawabnya dengan jujur, Han.” Dia menatapku dalam dan mulai lagi berbicara begitu serius, “Bisa jelaskan padaku di mana kau berada pada duabelas November?”

“Aku ada di kantorku.”

“Oke, aku ulangi, bisa jelaskan padaku di mana kau berada pada duabelas November?”

“Aku ada di kantorku.”

“Tidak, Han. Kau tidak ada di situ.” Junhyung mengacungkan secarik kertas. “Data kehadiran ini berbicara lain.”

“Oke! Mungkin saat itu aku sedang cuti karena aku sakit perut.”

“Hana Kim, apa aku harus mengingatkanmu kenapa kau sakit perut?”

“Silahkan saja bila kau merasa punya keahlian seperti cenayang.”

“Jadi … sebenarnya hari itu kau cuti karena sedang sibuk merancang sesuatu. Hingga akhirnya ka telat makan dan asam lambungmu naik. Bukan begitu?”

“Dari mana kau tahu?”

Junhyung menunjuk kepalanya berkali-kali. “Otak.” Dia tersenyum melecehkan dan memiringkan kepalanya ke kiri. “Apa perlu aku memberi tahumu apa yang sedang kau rancang kali itu?”

Aku duduk dengan tegang dan hanya bisa memandanginya lurus-lurus tanpa menjawab sepatah kata pun.

“Kau —Hana Kim—sedang sibuk menyusun rencana pembunuhan saudaramu sendiri, benar?”

“Salah!”

“Apa perlu aku mendatangkan Grace ke sini?”

“Dia! Dia pembunuhnya! Wanita penggoda itu pembunuhnya! Suster genit sialan!”

“Wow, tenangkan dirimu, Han. Tak akan ada yang menerkammu di sini.”

Pandanganku teralih pada pintu yang terbuka. Seorang wanita muncul di baliknya. Seolah tahu, Junhyung langsung memekik tanpa sama sekali melihat ke belakang. “Duduklah, Grace!”

“Ceritakan pada Hana apa yang sebenarnya terjadi.”

Grace kini berada di sisi lain pada meja persegi yang ada di tengah-tengah ruangan, menarik kursi lipat itu lebih dekat ke arah meja dan berbicara dengan lembut, “Aku memang seorang suster dan pernah beberapa kali melihat Suga keluar masuk rumah sakit, tapi itu hanya sekilas. Aku tak pernah ditugaskan untuk merawatnya. Aku tidak mengenalnya secara pribadi. Tentu pada pemakamannya aku datang karena kami saudara jauh.” Dia mengalihkan pandangannya ke arahku, wajahnya terlihat begitu meyakinkan, “Kita juga, Han. Kita saudara.”

“Kau dengar sendiri, Han? Dengan kata lain Grace tak pernah mengobrol dengan Suga lewat ponsel. Aku sendiri tidak tahu siapa yang memakai akun palsu dan memulai chatting dengan Suga di ponsel itu. Barangkali kau tahu?”

“Tidak.”

“Oh, baiklah. Mungkin kamu ingat siapa orang yang mengirimkan puluhan foto Grace ke ponsel Suga, huh?”

“Aku bilang tidak tahu ya TIDAK TAHU!”

“Hm, kalau begitu … kau ingat siapa orang yang telah menambahkan arsenik pada kopi Taehyung? Ah iya, satu hal yang harus kau tahu, Han … kebingungan Taehyung selama ini bukanlah suatu hal yang aneh. Dia memang bukan seorang detektif. Dia aktor. Aktor yang aku kirimkan untuk melihat sejauh apa bahayamu. Aku yakin, siapa pun itu yang mencoba mengungkap kasus ini akan jatuh mati di tanganmu, dan lihatlah? Umpanku berhasil kau tarik. Itulah mengapa aku tak akan pernah masuk rumahmu, entah apa yang akan kau lakukan di sana. Tapi sekarang aku tahu, mainanmu racun. Kau betul-betul berbahaya, Han.”

***

Hana Kim. Wanita cantik yang malangnya harus jatuh cinta pada saudaranya. Tak ada yang bisa dia lakukan selain terbelenggu pada dunia yang dia bangun sendiri. Terlebih ketika hubungannya dengan Suga telah diketahui orang tua keduanya. Suga tak pernah lagi mau diajak bertemu kalau bukan urusan keluarga yang penting.

Benar adanya kalau Suga mencintai wanita yang lebih tua, seperti Hana misalnya. Dia tak semudah itu melupakan Hana karena pada dasarnya Suga bukan hanya mencintai Hana, tetapi juga menyayanginya. Tapi dia sadar bahwa hubungan itu tak mungkin dilanjutkan. Insect sama sekali bukan hal yang bagus dalam pikirannya. Suga menyadari itu dan dia tak ingin jika nanti buah cintanya dengan Hana malah harus menanggung derita. Terbayang sudah bagaimana kelainan yang akan diderita anaknya kelak jika pernikahan antara saudara dekat itu benar-benar terjadi. Suga hanya ingin melihat Hana bahagia dan ini bukan omong kosong.

Hana hanya hilang kendali saja. Dia sama sekali tak punya bayangan bagaimana seharusnya lelaki yang akan mengganti Suga. Padahal ia sudah sangat yakin bahwa Suga adalah tipe yang paling sempurna. Entah harus sesempurna apalagi karena Suga pernah berkata bahwa kelak Hana akan mendapatkan lelaki yang lebih baik darinya.

Hana mencari cara supaya tetap bisa berkomunikasi dengan Suga meski ia harus menjadi orang lain dalam melakukannya. Dia tahu bahwa Grace adalah saudaranya tapi dia menolak untuk mengingat itu. Dia rasa wajah Grace tepat untuknya, lagipula Suga tak pernah kenal dengan Grace karena Grace terpaut jauh hubungannya dengan Suga, bahkan tak memiliki hubungan darah sama sekali.

Hana tidak peduli. Ia membulatkan tekad untuk melakukan pendekatan ini hingga akhirnya Suga kembali berpacaran dengan Han meski dalam bentuk Grace.

Kalau aku tak bisa memiliki Suga, maka orang lain pun begitu.

Mungkin kata-kata itu semakin membuatnya yakin bahwa cara terakhir membuat cintanya abadi adalah dengan membuatnya mati.

Semua direncanakannya dengan matang hingga dia mengetahui jadwal ibu tak ada di rumah. Malam itu dengan perut kosong ia menumpangi taksi dan derap langkahnya terdengar semakin mendekat ke dalam rumah. Hana tahu ibunya pasti sedang tak ada di rumah, jadi dia bisa seleluasa itu masuk dan membuka pintu kamar Suga secara paksa.

“Hana!” Suga langsung menghambur ke dekat pintu begitu melihat Hana masuk ke kamarnya. Dipeluknya wanita itu dengan hangat dan penuh cinta. Tapi tidak bagi Hana, tubuhnya kaku, rahangnya mengeras dan dengan kasar ia menghempaskan Suga.

“Grace? Wanita itu yang sekarang kamu cintai, hah?”

“Oh, Han, kupikir kamu su—”

“Ingat-ingat lagi apa yang kamu ucapkan pada wanita itu! Kamu tidak mengakui aku, Suga! Kamu bilang kamu tidak kenal aku! Apalagi menjalain hubungan denganku, lalu selama ini apa, hah?”

“Han, biar kujelaskan dulu sebe—”

DOORRR DORRR

Dua tembakan tepat menembus Dada Suga. Percikan darah keluar dari dadanya seperti balon berisi air baru saja diletuskan. Tubuhnya runtuh seketika. Terdengar suara berdebum ketika seluruh badan itu jatuh ke lantai dan rambutnya yang halus ikut bergoyang.

Satu nyawa melayang karena sebuah salah paham. Hana sama sekali tak memberinya kesempatan berbicara. Sebuah delusi (keyakikan yang salah) begitu cepat menguasai otaknya. Ia terus berkutat pada delusi bahwa Suga mencintai Grace, pertemuan mereka di rumah sakit, serta senyuman, ciuman, pelukan dan malam-malam hangat antara Grace dan Suga. Padahal itu semua tak pernah terjadi. Itu hanya sebuah delusi, tak lebih.

Padahal jika ada satu wanita yang paling dicintai Suga, tak salah lagi itu hanya Hana.

***

“Kali ini aku tak akan memaksamu, Han. Tapi kau sudah tak bisa mengelak, kita sudah sama-sama tahu bahwa kau pelakunya.”

Aku mengedarkan pandangan dengan cemas ke segala arah. Tak ada yang kudapat selain bayangan dari diriku sendiri, Junhyung, Grace dan bangku tempat kami bercakap. Ruangan ini menjadi begitu terang dan aku tahu semuanya semakin menyingkap bahwa kebenaran akan segera terungkap.

Aku dalam ini Hana Kim mengaku … ya, akulah pembunuh Suga.

“Tapi kami tetap butuh keteranganmu, Han,” suara dengan nada membujuk itu lalu datang merayapi rongga telingaku. Menarik perhatian yang semula tak bisa kufokuskan pada satu titik. “Bisakah kau ceritakan bagaimana itu semua terjadi?”

***

Aku mencintai Suga hingga mati. Aku suka setiap detail dirinya dan cara yang ia gunakan untuk membuat aku tenggelam dalam tubuhnya. Bagaimana dia memasuki duniaku dan mengajariku banyak hal tentang hidup.

Aku mencintainya hingga aku kesal sendiri. Karena hakikatnya, aku tidak bisa membuat dia menjadi milikku secara utuh. Dia seharusnya milikku, apa pun alasannya. Aku ragu apakah ini cinta atau obsesi? Tapi kemudian aku yakin, obesesi diperlukan dalam sebuah hubungan.

Kami sempat menjalin hubungan seiringan dengan itu banyak janji berjejal dari bibirnya. Tapi dia sepertinya dikalahkan oleh logika dengan mudah dan memilih untuk menghancurkan semua hal yang sudah kami rancang begitu rapih.

Aku menyamar menjadi Grace dan mengajak Suga chatting. Ternyata itu tak sesulit yang kukira. Dia gampang sekali terjerat, padahal mulanya aku berpikir bahwa ia adalah tipe yang cuek dan apatis.

Tak butuh waktu lama baginya untuk memintaku menjadi kekasihnya. Aku berpacaran lagi dengannya meski kini aku berwujud sebagai Grace.

“Ceritakan padaku bagaimana kisah percintaanmu, Suga.”

“Aku harus cerita dari mana?”

“Sebutkan siapa pacar terakhirmu?”

“Aku terakhir pacaran setahun yang lalu.”

“Rasanya mustahil lelaki tampan sepertimu mempunyai kisah cinta yang suram seperti itu.”

“Aku serius, aku hanya pernah tiga kali pacaran dan itu adalah bersama Jen, Hyuna, dan kamu Grace. Tak ada yang lain.”

“Kau yakin tak ada wanita yang kau lupakan?”

“Aku yakin, Sayang.”

Chatting itu membuatku sadar kalau Suga hanya bermain-main denganku. Dia bahkan tak pernah menganggapku sebagai mantan kekasihnya. Kenyataan yang benar-benar membuat darahku mendidih dan tak bisa berbuat banyak selain menyadari satu fakta: Suga tak mencintaiku, sama sekali tidak!

Hari-hari berikutnya aku habiskan dengan memperhatikan aktivitas di dalam rumah, jam-jam di mana ibu pergi dan Suga sendirian di rumah. Hingga hari itu tiba dan aku memarahinya karena sudah dengan berani jatuh cinta pada Grace—padahal aku tahu, tak lain dan tak bukan itu adalah diriku sendiri.

Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa menembaknya tepat di dada. Tapi itulah kenyataannya, dia memang mati di tanganku.

***

“Apa kau menyesal, Han?”

“Aku tidak tahu.”

Bisa kudengar Junhyung mengembuskan napas keras dan tampak wajahnya berubah tak percaya. Sementara itu Grace hanya menunduk dan terlihat meremas jari-jarinya dengan canggung.

“Coba ingat apa yang aku lakukan setelah itu semua terjadi, Junhyung,” sanggahku. “Apa kau pikir itu adalah bentuk penyesalan?”

“Kau benar-benar berbahaya, Han. Otakmu, hatimu … dua-duanya sakit.”

“Betul!” aku menyahut. “Tak ada yang lebih berbahaya daripada seorang yang menyimpan dendam di dalam hatinya.”

Riuh kudengar dari pintu, membuat perhatianku teralih dan memperhatikan apa yang selanjutnya terjadi.

Ibu.

Dia datang dengan jalan yang tak karuan. Pipinya basah oleh air mata dan tangisnya memenuhi ruangan ini dengan cepat. Diraihnya aku ke dalam pelukan. Kalimat tak jelas keluar dari bibirnya dan membuatku semakin tak mengerti apa yang ia ucapkan karena ia terus saja tersedu.

“Ibu ….”

Tangisnya mulai reda dan dia mendorong pundakku dengan lembut. Ditangkupkan wajahku dengan dua tangannya. Bibirnya mulai berbicara dengan gigil menyertai. “Maafkan Ibu, Sayang … maafkan Ibu.”

“Maaf untuk apa, Bu?”

“Untuk jiwamu yang rapuh, jika itu kau dapat dari ibumu ini … tentu aku benar-benar menyesal telah menurunkannya padamu. Maafkan ibu, Sayang … maafkan.”

“Tapi Bu—”

“Aku sudah melihatnya lewat cermin dua arah itu, sejak kemarin. Ke sinilah aku pergi. Ibu seharusnya menyadari ini sejak awal, kamu tidak baik-baik saja.”

“Jadi ….”

“Iya, Ibu mengetahuinya, semua yang kamu ucapkan sejak kemarin dan bagaimana kamu dengan lihainya memutar balikkan fakta, itu menyakitkanku,” ujarnya, bibirnya masih menggigil dan sorot mata tua itu telah membuatku tahu bahwa ia lelah dengan semua ini. “Ibu tahu kau berbicara sendiri di dalam kamar usai pemakaman Suga. Di sisi ranjang kau duduk dan bertingkah seolah seseorang berada di hadapanmu. Aku bisa mendengarnya bahwa kau menyebut nama Suga berulang-ulang.” Ibu terhenti sebentar, ditariknya udara dengan rakus dan memutar bola matanya untuk menahan air mata yang hendak turun. “Aku menutup pintu kamarmu dengan hati yang sakit. Iya … malam itu … jika kau mengingat sebuah suara pintu yang ditutup, itulah aku, Sayang.”

Satu tetes air mata lolos lagi dari matanya dan dia sama sekali tak berhenti berbicara meski dengan suara yang selalu saja bergoyang.

“Han terlalu cantik untuk menjadi gila, Han cantik, kau anak Ibu yang paling baik sedunia.”

“Lalu selanjutnya apa, Bu? Apa kau akan mendandaniku menjadi anak laki-laki lagi, hm?”

“Hana! Itu melukai ibu!”

“Itu yang dulu kau lakukan padaku. Dan asal kau tahu, aku lebih dari sekedar sakit!”

Tanpa peringatan dia memelukku begitu erat. Sontak aku memberontak dan berteriak sekencang yang aku bisa. Penglihatanku tiba-tiba kabur dan semua terasa berputar hebat. Aku hampir kehilangan kesadaranku namun setidaknya aku tahu … kondisi ruangan sangat kacau kali ini.

    Mataku mengerjap beberapa kali ketika menyadari aku sudah berada di atas kasur berseprai putih usang nan kasar. Ketika aku membuka mata dengan sempurna, keyakinanku semakin bertambah bahwa aku sedang berada di dalam sel tahanan. Dinding kusam langsung nampak mengelilingi tubuhku. Banyak coretan dan sisa bocor air yang merembes membentuk berbagai macam pola.

Aku bangkit dan duduk di tepi ranjang. Sakit yang menggerogoti tubuhku makin jelas kurasakan. Entah dari mana datangnya, secara tiba-tiba saja aku bisa merasa lelah seperti ini. Tapi kemudian aku mengingat apa yang kulakukan terakhir kali. Ya … memberontak dan menjerit-jerit.

Kurapatkan kedua lututku mendekati dada dan memeluk layaknya orang yang kedinginan. Aku bergerak ke depan belakang seperti sedang bermain kuda-kudaan dengan diriku sendiri. Ada satu hal yang bisa akal sehatku terima saat ini, bahwasannya pikirkanlah apa yang akan terjadi pada orang-orang terdekat korban jika targetmu benar-benar mati. Mimpi apa saja yang kau lumpuhkan dan kesusahan macam apa yang akan dialami mereka.

Ah, bicara apa aku ini.

“Hana.”

Aku menoleh dan mendapati wajah Junhyung condong ke arah jeruji sel bahkan hidung bangirnya sudah melewati celah itu.

“Apa, Junhyung?”

“Bisa mendekat?”

Kuturunkan kakiku dari ranjang dan berjalan mendekatinya. Melewati jeruji sel, tangan Junhyung menyodorkan sebuah ponsel yang sepertinya tak asing bagiku.

“Ini ponselmu yang kau buang, kan?” tanyanya. “Ada pesan yang belum sempat kau baca.”

Aku menerima ponsel yang terasa dingin di tanganku. Terbesit kekaguman karena ternyata dia bisa menemukan ponsel ini setelah aku membuangnya sehari sebelum aku menembak Suga.

Pengirim: Suga

Date: 11 Nov 2014 15:23

Aku tidak menyangka kalau kau akan melakukan ini hanya demi berkomunikasi denganku. Aku tahu betul dari caramu mengetik dan bahasa yang kau gunakan. Aku bisa merasakan itu, Han. Karaktermu begitu kuat hingga aku bisa mengenalinya dengan mudah meski berulang-ulang kau katakan bahwa kau adalah Grace.

Okay, selamat sore, Han. Maaf aku baru bicara sekarang. Aku hanya ingin memberimu sebuah kejutan, Han Sayang. Jangan lupa makan! Semangat!

Suga.

“Dia tahu itu kamu, Han. Maka—”

“Semuanya sudah terjadi.”

“Ssst, jangan pernah memotong pembicaraan. Bisa-bisa kesalah pahaman terjadi padamu lagi, seperti waktu itu.”

Aku menatap matanya lamat-lamat. Sedikit kutorehkan senyum ketika jarak di antara kami hanya sebatas jeruji. Kuserahkan kembali ponsel kepadanya dan detik itu tangan kami bersentuhan, cukup berhasil menularkan hangat yang ia punya pada tanganku.

Aku tahu dia menatapku tanpa berkedip. Seperti sadar tidak sadar, dia berucap, “Aku akan menunggumu keluar dari sel ini, Han. Aku harap genku cukup kuat untuk mendominasi kerusakan pada dirimu. Hingga nanti kita bisa punya anak yang sehat.”

“Kecil kemungkinannya, Junhyung.”

“Ah, ayolah.” Dia mengembuskan napasnya keras-keras. “Aku yakin itu berhasil.”

Aku tahu dia jenius, tapi dia selalu melewatkan satu hal penting. Dia lupa kalau pada aturan mutlak bahwa kita tidak boleh menyampur-adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Ya, itulah kekurangannya.

“Bebaskan aku lebih cepat. Itu satu-satunya cara.”

Dia mengangguk dan matanya mengecil, tertumpuk pipinya yang terangkat sempurna. “Aku berjanji akan melepaskanmu lebih cepat, tentu.”

Entah aku harus menyebutnya apa. Tapi kurasa aku punya kelihaian dalam memikat seseorang. Seperti si angkuh ini yang akhirnya bertekuk lutut di hadapanku.

.

Ayah kehilangan anaknya

Kakak kehilangan adiknya

Paman kehilangan keponakannya

Segala harapan yang digantungkan dengan mudah terhempas oleh satu fakta: kematian.

Dia yang dikasihi mungkin sudah terlelap di bawah rengkuhan sayap malaikat, namun mereka yang ditinggalkan masih tetap di sini.

Lihatlah dan pahami, apa masalah yang sebenarnya kau perbuat, dear murderer.

TAMAT