Tags

, ,

igot-d-forlove

I got ‘D’ for Love

-Caramel Kim Storyline-

-Main Cast : Jeon Jungkook (BTS), Shin Eunjoo (OC), |Genre : Romance, Life|Type : Chaptered|Rated : 17+|

Cute Poster by Arestanov from HSG

.
.

Menjadi penyanyi, tapi juga menjadi pelajar adalah hal sulit.

“Ya ampun, kalau begini terus kau tidak akan lulus Jeon Jungkook.”

Tapi,

“Kau juga harus mementingkan nilai akademismu. Jangan main-main.”

Belajar lebih sulit ketimbang menyanyi.

“Raportmu bisa-bisa kebakaran, lihat ini, aku baru tau ada angka yang seperti ini.”

Jadi, aku benar kan?

 

Chapter 1

“Jeon Jungkook. Ini hasil ujianmu, berusahalah lebih keras lagi, ini tahun terakhirmu.”
Aku menghela nafas, lalu membungkuk sekilas dan menerima hasil ujian tengah semesterku. Nyonya Jung hanya menatapku dengan ketus, seperti biasa. Wanita itu sudah berulang kali memperingatkan aku tentang nilai-nilaiku, dia sama cerewetnya dengan hyung-hyungku diasrama, terutama Yoongi hyung.

Aku menarik nafas dan berbalik menuju tempat dudukku, lalu memberanikan diri untuk mengintip hasil ujian Fisika yang aku kerjakan dengan mata nyaris tertutup minggu lalu. Wah, sesuai dugaanku, hanya 15. Aku menggigit bibir, kesal.

Bisa kudengar banyak bisikan-bisikan dan gumaman murid lain. Mereka membicarakan aku, tentu saja. nilai burukku, reputasiku, semuanya adalah bahan pembicaraan hangat disini. Dan aku berusaha untuk tidak peduli, setidaknya tidak ada yang mau mengajakku bicara, maka aku tidak akan peduli jika mereka membicarakanku dibelakang punggungku sebagai gantinya.

Begitu mendarat dikursiku aku lantas menghela nafas lemas, kenapa aku selalu gagal? Poin 15 sama sekali tidak cocok untukku, nilai seperti ini tentu akan membuat raportku kebakaran. Persis seperti kata Namjoon hyung. Padahal aku sudah berusaha, belajar semalaman, bahkan meminta bantuan Namjoon hyung yang—sangat—pintar terutama ketika dia sekolah dulu. Dia mengajariku sampai pukul 03.00 dini hari, tapi yang aku dapat hanya angka yang bahkan tidak mencapai angka 20.

Aku menelan ludah, sambil memandangi angka 15 yang ditulis dengan tinta merah, dengan ukuran yang terlampau besar dan memalukan. Dengan gusar aku lalu meremas kertas itu dengan kepalan tanganku. Membuat bunyi bising yang membuat beberapa anak melirik ingin tau. Masa bodoh, batinku, lalu memasukan buntalan kertas jelek itu kedalam ranselku dengan sembarang, berharap kertas itu lenyap begitu masuk kesana. Lagi-lagi kepalaku berputar, yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana menyembunyikan hasil ujianku dari hyung-hyung ku? Mereka pasti akan menghajarku jika tau.

Ah tidak,

Mereka pasti akan membunuhku.

Hari sudah terlalu larut.

udara semakin dingin, maklum, sudah pertengahan musim gugur, yang berarti cuaca serta udara akan berubah semakin dingin tiap harinya. Setiap orang yang datang pasti memakai pakaian hangat, entah itu mantel atau sweater. Beberapa orang bahkan datang dengan pakaian hangat yang mentereng, penuh gaya, seolah mereka berjalan diatas catwalk, bukan berjalan diatas trotoar pejalan kaki. Termasuk beberapa gadis yang datang hari ini.

Eunjoo menarik nafas, lalu membungkuk halus pada gerombolan gadis yang datang ke minimarket malam itu.

“Selamat datang.”

Seolah tak menghiraukan ucapan Eunjoo, segerombolan gadis itu lantas berjalan masuk lalu mengambil keranjang yang tertumpuk disisi rak. Mereka siap berbelanja.

Hah..gadis-gadis masa kini.

Eunjoo menghela nafas, dia bisa mendengar langkah sepatu hak tinggi gadis-gadis itu yang menjejak lantai penuh antusias. Mereka berceloteh, sepertinya mereka seusia Eunjoo. Namun, penampilan mereka berbeda dengan Eunjoo. Ya, gadis mentereng yang modis, dengan penjaga kasir minimarket 24 jam.

Usia yang sebaya, tempat yang sama, tapi nasib yang berbeda.

“Hanya ini? Ada diskon 15% untuk minumannya.”
Eunjoo tersenyum, lalu mengecek harga masing-masing barang yang dibeli 3 gadis itu. Coklat, minuman kaleng, satu kotak vitamin c, beberapa biscuit coklat. Eunjoo terus memasukan barang-barang itu ke dalam kantung plastik, sementara gadis-gadis itu menunggu.

Ketiga gadis itu berceloteh, mereka tampak bahagia. Dan dari barang-barang yang mereka beli, nampaknya mereka akan mengadakan acara menginap.

“Semuanya 10.000 won.”
Eunjoo tersenyum, lalu menatap ketiga gadis itu untuk yang terakhir kali. Mereka sangat cantik, dan mantel mereka sungguh bagus. Salah satu gadis mengeluarkan selembar uang, sebesar 50.000 won. Gadis itu menguap, lalu menerima belanjaannya dengan wajah setengah malas.

“Aku membawa dvd baru, kita harus nonton ya Jihye!”

Gadis lain berseru, lalu menyenggol si gadis yang tadi membayar dengan antusias. Si gadis yang terlihat mengantuk itu hanya bergumam pelan, lalu berjalan keluar toko dengan nyaris menyeret belanjaannya. Dua gadis lain berjalan mengikuti gadis yang bernama Jihye itu, lalu membantunya membawa belanjaan itu.

Mereka pergi dengan riang.

Eunjoo pun berjalan keluar dari minimarket tempat dia bekerja tak lama setelah gadis-gadis tadi pergi. Dia mengancingkan mantel usangnya dengan wajah tak berminat, dan berjalan menembus malam. Ya, dia baru saja menerima gaji sebagai penjaga kasir hari ini, dan Eunjoo cukup puas karena dia bisa menabung untuk biaya kuliahnya yang harus dibayarkan beberapa minggu lagi.

Mantel yang tidak tebal itu nampaknya tidak cukup menghangatkan Eunjoo. Suhu sekitar 13⁰C dan ini sudah nyaris pagi. Eunjoo berjalan dengan kepala tegak, menembus udara malam yang membuat tubuhnya menggigil. Ada saatnya gadis itu mengeluh, bekerja di minimarket 24 jam di malam hari dan menjadi mahasiswi di siang hari membuatnya lelah. Gajinya juga tidak besar, hanya 7000 won per bulan. Untuk makan, dan untuk membiayai kuliahnya. Bagi Eunjoo 7000 won adalah banyak, dia bukan tipe yang suka menghamburkan uang.

“Kau bekerja dan kuliah dengan waktu yang nyaris tanpa jeda. Kau luar biasa.”

Eunjoo tersenyum begitu mendengar pujian beberapa mahasiswa lain dikelasnya. Tidak, hal itu bukan hal yang luar biasa, hal itu hanyalah hal yang biasa, namun membutuhkan sebuah keberanian untuk melakukannya. Hanya dengan berani kau bisa bertahan. Tanpa bekerja Eunjoo akan mati, dan jika dia mati maka semuanya berakhir. Mimpinya, dan harapan orangtuanya akan lenyap, lebih baik dia tidak usah dilahirkan saja jika berakhir sia-sia seperti itu.

Jadi, dia harus bertahan.

Eunjoo adalah gadis pintar, selain itu dia juga sangat rajin. Bekerja semalaman tidak membuatnya malas belajar. Dia malah semakin semangat. Walaupun dia hanya memiliki waktu 2 jam per hari untuk tidur, tapi dia tetap belajar walaupun tubuhnya memohon untuk istirahat. Eunjoo tidak bisa, jika dia malas-malasan maka semuanya akan menjadi sia-sia. Bekerja, lalu belajar. Siklus hidupnya adalah seputar itu. Tidak ada waktu bermain, bahkan Eunjoo bukanlah tipe orang yang mudah bergaul. Di kampusnya dia hanya memiliki segelintir teman. Tidak akrab, tidak apapun. Baginya berteman hanya membuang waktu, apalagi tak satupun temannya yang bisa mengerti keadaannya, walau mereka sebenarnya mencoba mengerti. Ya, beberapa anak menaruh simpati padanya, tapi bagi Eunjoo semua itu hanyalah tata krama semata. Mereka baik padamu, bukan berarti mereka peduli. Eunjoo paham akan hal itu.

“Kau kan pintar, cobalah mengajukan beasiswa.”

Setiap mengingat ucapan dosennya dulu, Eunjoo hanya tertawa menahan pedih. Dia masih ingat betul, ketika tingkat satu. Gadis itu dengan bersemangat mengajukan beasiswa yang kebetulan diberikan oleh salah satu perusahaan manufaktur terkenal di Korea. Berkat petuah dan semangat dari dosennya, Eunjoo mengikuti saran itu. Apalagi nilai Eunjoo nyaris sempurna, tidak ada cacat. Hal itu membuat Eunjoo percaya diri. Gadis itu memberikan formulir, beserta lampiran hasil studinya selama dua semester terakhir. Dengan polos, gadis itu berharap keberuntungan memihak dirinya yang memang terlahir kurang beruntung. Dia berharap setidaknya dia tidak perlu membebani siapapun jika berhasil mendapatkan beasiswa itu.

Tapi.

Di hari dimana pengumuman peraih beasiswa itu tiba, Eunjoo hanya bisa menelan kekecewaan. Dia gagal. Keberuntungan tidak lagi memihaknya. Dan yang membuat hatinya sakit adalah, yang berhasil mendapatkan beasiswa itu adalah teman sekelas Eunjoo, Goo Jinhee. Dia anak seorang dokter gigi terkemuka di Seoul. Dia gadis kaya. Ayahnya juga orang yang berpengaruh di kampusnya. Dan itu membuat Eunjoo sakit hati.

Orang kaya dan beruntung akan selamanya beruntung.

Eunjoo menangis, menangisi dunia yang berpaling dan mencampakannya. Apa lagi yang kurang dari hidup kalian? Sudah terlahir kaya, berkecukupan, masih saja ingin merebut harapan orang lain? Ya, Eunjoo marah saat itu. Dia sangat marah dan terluka. Mungkin bagi Jinhee, beasiswa itu hanyalah ajang membuktikan diri bahwa dia gadis jenius dan berbakat. Dia hanya mau hasrat ingin menangnya terpenuhi, tanpa berpikir, bahwa beasiswa itu akan sangat berarti bagi orang lain, yang menggantungkan harapannya disana. Dan hal itu mengubah Eunjoo. Dia tidak berharap banyak pada dunia dan keberuntungan, dia hanya berharap pada kemampuannya. Dan sejak saat itu, Eunjoo mulai membiayai hidupnya seorang diri.

Eunjoo menghela nafas lega begitu langkah kakinya semakin dekat dengan rumahnya. Gadis itu berjalan cepat, sambil memasukkan kedua tangannya didalam saku mantel usangnya, yang tidak cukup mampu membuat tubuhnya hangat. gadis itu berjalan semakin cepat melawan angin.

“Ah dinginnya.” Gumam gadis itu lalu membuka pintu.

Sebenarnya, rumah Eunjoo adalah rumah sewa. Tidak besar, hanya satu petak kamar yang memiliki dapur kecil dan kamar mandi sederhana. Yah, disinilah dia tinggal, didalam kamar sewa yang hanya punya satu ranjang kecil, dan lemari pakaian mungil. Gadis itu berjalan masuk, lalu melepas sepatu dan mantelnya, sambil bernapas panjang. Kakinya pegal, mungkin karena berdiri terlalu lama. Setelah membersihkan diri, dia lalu naik ke ranjangnya yang sederhana. Mulai mencoba untuk istirahat, dan berharap hari esok akan menjadi hari yang baik baginya..

“Lihat ini, mengerikan.”

Lelaki bermata sempit itu kini nampak terkejut. Matanya yang terlampau kecil itu kini agaknya sedikit terbuka karena terkejut. Walau tidak terlalu lebar.
Sepasang mata lain ikut menatap kearah yang ditunjukan oleh telunjuk putih pucat si pria sipit itu. Dan si pemilik mata itu juga terkejut, tapi ekspresinya tidak terlalu berlebihan.

“Wah, 15? Sia-sia kau begadang sampai pagi.”
Ucap Namjoon, yang langsung berpaling dari kertas yang digenggam Yoongi menuju anak lelaki yang nyengir bersalah didepannya.

Jungkook berdecak keras.

“Soal yang keluar meleset semua. Wajar kalau nilaiku segitu.”
Jungkook membela diri, lalu kembali nyengir, memamerkan dua gigi depannya yang besar mirip hewan pengerat. Hanya saja, Jungkook jauh lebih tampan. Ketujuh anak lelaki yang tengah duduk-duduk diruang tunggu mendadak diam, hanya ada suara desahan nafas Yoongi yang terdengar malas. Tapi dia juga sempat terkekeh.

“Yah, setidaknya kita menemukan kelemahan Jungkook. Dia tidak 100% multitalented.” Ucapan Yoongi mengundang tawa masam dari sang korban, Jungkook. Taehyung dan Hoseok terkikik nyaring. Dengan nada yang agak sedikit berlebihan. “Belajar memang lebih sulit dari kelihatannya. Apalagi saat ujian aku mengerjakan soal-soal itu sambil menutup sebelah mataku.” Tukas Jungkook, sambil meninju pundak Taehyung dengan gerakan main-main. Sementara yang kena pukul tertawa semakin keras.

“Kau akan mendapat hukuman karena angka ini.”
Jungkook mendongak, menatap Yoongi yang menyeringai jahat. Hyung nya itu memang jahat dan suka memamerkan seringaian seperti itu, tapi seringaiannya kali ini terlihat dua kali lebih mengerikan dibanding biasanya.

“Hukuman?”

“Tunggu saja beberapa saat lagi.”

Jungkook mengerjap. Lalu menoleh kearah pintu yang sedang diketuk sepersekian detik kemudian. Beberapa dari mereka tertawa, tapi Jungkook hanya mengernyit lalu berdiri dan berjalan menuju pintu dan membukanya dengan bingung.

“Ah! Hyung? Kupikir kau sudah di mobil?”

Tapi kata-kata Jungkook tertelan oleh suara tawa Namjoon, Jimin, dan Hoseok begitu tau siapa yang mengetuk pintu.

Ternyata manajer mereka.

“Kubilang juga apa, tamat riwayatmu.”

“Jungkook tidak akan bisa tertawa lagi!”

Seolah tak menghiraukan cekikikan seisi ruangan, manajer mereka berjalan masuk. Dia lalu duduk disisi Jimin sambil menarik nafas panjang, Jungkook mengernyit.

“Aku sudah tau nilai-nilaimu. Agensi juga sudah tau. Kau harus berusaha keras Jungkook. Berita tentang nilai-nilaimu itu sudah sampai ke telinga para fans, dan mereka menjadikan itu sebagai lelucon.”

Sontak tawa tiba-tiba meledak seketika itu juga.

Semuanya, kecuali Jungkook, tertawa terpingkal-pingkal hingga mengundang perhatian dan tatapan bingung beberapa stylist  yang sedang membereskan beberapa pakaian. Mereka tertawa semakin keras, terutama Taehyung dan Namjoon, mereka tertawa dengan mulut lebar. Wajah Jungkook lantas memerah. Dia sangat malu.

“ARMY memang punya selera humor yang bagus!”

“Tak kusangka beritanya menyebar secepat itu, kau benar-benar tenar sekarang!”

Jungkook menggigit bibir bawahnya, dia bingung akan membalas perkataan hyung-hyungnya itu seperti apa. Tapi yang jelas dia sangat malu sekarang.

“Hyung cukup”

Seolah tak mendengar ucapannya, yang lain tetap tertawa kencang.

“HAHAHA ini menggelikan.”

“Hyung sudah.”

“Jungkook yang tampan dan berbakat ternyata dapat 15 untuk ujian fisika!”

“Hyung.”

Namjoon tidak berhenti, dia malah semakin menjadi-jadi.

“Aku akan membuat acara tebak-tebakan di twitter dengan ARMY nanti malam, mereka harus menebak berapa nilai ujian Jungkook berikutnya!”

“HYUNG CUKUP!!!!”

Hari yang sama datang lagi.

Hari itu adalah sabtu. Hari yang seharusnya menyenangkan bagi banyak orang tetap saja menjadi hari yang begitu melelahkan bagi Eunjoo.

Sepulang menyerahkan tugas essay pagi itu, Eunjoo tidak kembali ke rumahnya. Gadis itu pergi ke minimarket tempat dia bekerja, memutuskan untuk berjaga disana hingga tengah malam. Menggantikan rekannya yang kebetulan sakit. Eunjoo tidak bisa melewatkan kesempatan mendapat uang tambahan untuk rumah sewanya yang sudah jatuh tempo, jika dia terlambat beberapa hari maka dia akan diusir.

Dengan menahan sakit kepalanya yang disebabkan karena kelelahan, gadis itu lantas berganti pakaian dengan seragam penjaga tokonya. Dalam diam dia lalu mulai bekerja, mendata ada berapa barang yang masuk dan memastikan barang itu ditaruh digudang toko dengan rapi.

Begitulah setiap hari, mendata barang-barang dalam kardus, menaruh barang-barang di etalase toko, menjaga kasir, bahkan membersihkan minimarket menjadi aktifitas rutin Eunjoo. Mungkin hal itu tidak bisa atau tidak pernah dibayangkan oleh banyak orang, tapi nyatanya Eunjoo menjalani semua itu. Saat akhir pekan, gadis itu bekerja dari pagi hingga pagi datang lagi, disaat orang lain sibuk pergi bermain, jalan-jalan, menghamburkan uang, Eunjoo hanya bisa tertawa miris menerima kenyataan yang dia dapat bahwa dia harus bekerja keras di usianya yang masih muda.

Gadis itu menghela nafas, sambil menaruh kotak Jus berukuran besar dirak. Dia sudah menata kotak jus yang sama di rak untuk yang ketiga kali, tapi rasanya kardus berisikan kotak jus itu tak kunjung habis.

“Shin Eunjoo, setelah ini kau data berapa barang yang sudah masuk.”

Hari ini sibuk sekali. Satu mobil truk berukuran sedang sudah terparkir di depan minimarket sejak pagi tadi. Truk itu membawa banyak barang, dan semuanya harus didata dan disimpan didalam gudang penyimpanan toko atau langsung ditaruh dirak. Beberapa pelayan toko lain juga ikut membantu mengangkat barang, dan pelayan pria-lah yang mengangkat barang-barang dan kardus berukuran besar kedalam toko, akan tetapi Eunjoo juga membantu, dia membantu menyimpan beberapa kardus ringan ke gudang, atau menata kotak camilan dan jus.

Debu beterbangan dimana-mana.

Eunjoo tidak terbatuk, gadis itu hanya mengangkat dan menaruh kardus berisi sereal kedalam lemari penyimpanan. Dengan bunyi debam pelan dia lalu menaruh kardus itu kelantai, lalu mendata semuanya dengan apik sesuai dengan yang diminta atasannya. Gadis itu berjalan keluar, menuju meja kasir yang sedari tadi kosong karena dia terlalu sibuk dengan kardus dan barang yang baru diantar. Untunglah belum ada pengunjung yang datang, jadi dia tak perlu merasa terburu-buru.

Eunjoo mengedarkan pandangannya keluar jendela.

Truk itu masih disana, dan masih banyak kardus yang ditaruh sembarang diatas aspal. Beberapa orang rekannya sibuk mengangkut barang, mereka terlihat lelah.

Lelah.

Eunjoo juga lelah, apalagi dia belum tidur. Dan sepertinya malam ini juga dia akan kehilangan waktu tidurnya lagi.

Gadis itu menghela nafas dan menatap pantulan dirinya dikaca rak obat dengan lesu.

Kantung matanya sudah terlihat makin jelas, semakin hari semakin menghitam dan terlihat mengerikan. Wajahnya juga nampak pucat tanpa riasan apapun. Mata Eunjoo terlihat sayu, dia terlihat tidak sehat. Sama sekali tidak sehat.

“Ah selamat datang.”

Eunjoo menyahut cepat, begitu dia sadar ada pengunjung yang membuka pintu toko dengan lambat. gadis itu membungkuk sedikit untuk menyambut si pengunjung yang berjalan masuk, namun bukannya mengambil keranjang atau berjalan menuju rak barang, si pengunjung itu malah menghentikan langkahnya dengan mendadak tepat didepan meja kasir. Pria itu menatap Eunjoo bingung. Gadis itu mendongak, membalas tatapan orang yang nampak tak asing itu dengan tatapan mengamati.

Dan kini mereka sama-sama saling tatap.

“Kau Shin Eunjoo kan?”

Eunjoo agak terkejut begitu pria itu mengetahui namanya.

“Iya. Tapi maaf, anda siapa?”

Eunjoo masih menatap pria itu dengan alis saling bertaut. Dia yakin dia pernah bertemu dengan orang ini, tapi dia tak bisa ingat dengan jelas kapan itu dan dimana tempatnya.

“Ini aku! Hobeom! Teman pamanmu Shin Jungmo!”

Pria yang bernama Hobeom itu kini berkata dengan nada riang. Dia berjalan mendekati meja kasir, lalu memasang senyuman lebar seolah dia baru saja menemukan dompetnya yang terjatuh.

“Paman Hobeom?”

Air muka Eunjoo kini berubah terkejut. Gadis itu memperhatikan pria dihadapannya dari kepala hingga kaki, memastikan apa benar dia teman pamannya sewaktu SMA dulu.

“Kau, nampak berbeda. Maaf aku bersikap kurang sopan padamu paman. Apa kabar?”

“Aku memang jadi gemuk sekarang dan semakin tua. Aku baik, aku tak menyangka akan bertemu denganmu lagi. Kau bekerja disini? Bagaimana keluargamu?”

Eunjoo tersenyum, walaupun dia yakin tak bisa menyembunyikan ekspresi menyedihkan dari wajahnya sekarang. Gadis itu menghela nafas, dan menatap rekan pamannya itu dengan agak canggung.

“Ayah dan ibu baik-baik saja di Daegu. Paman Jungmo juga baik. Aku bekerja disini paman, kau pasti heran ya?”

Hobeom terkejut, tentu saja. dia menatap Eunjoo yang terlihat lelah itu dengan tatapan iba. Eunjoo terlihat berbeda, dia nampak lelah dan tidak bahagia.

“Kau sendirian di Seoul? Kau kuliah kan? Kau tinggal dimana sekarang? Kenapa tidak menghubungi aku jika kau ada di Seoul?”

Eunjoo menggigit bibir, berusaha untuk mengeluarkan kata-kata yang tepat untuk menjawab rentetan pertanyaan Hobeom yang menyerangnya seperti peluru. Dia berusaha mengalihkan pandangan, tapi jelas itu tidak berguna.

“Aku kuliah paman. Aku tinggal dirumah sewa didekat sini.”

“Ya Tuhan harusnya kau menelponku, setidaknya aku akan membantumu walau tidak banyak.”

“tidak usah—“

“jangan begitu.”

Hobeom merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet. Pria itu nampak mencari sesuatu didalam dompetnya lalu mengeluarkannya dan menarik tangan Eunjoo dengan cepat.

“paman tidak perlu.”

Eunjoo sadar apa yang ada ditangannya sekarang. Uang. Gadis itu menolak, berusaha menyerahkan kembali uang itu ke tangan Hobeom, tanpa bermaksud menyinggung perasaan rekan pamannya itu.

“Aku tidak bisa menerimanya begitu saja, ini terlalu banyak.”

Hobeom menatap Eunjoo dengan iba sekaligus bingung. Dia ingin membantu, tapi kenapa gadis itu dengan cepat menolak?

“Setidaknya izinkan aku membantumu. Jungmo sudah banyak menolongku, aku bisa merasa bersalah selama sisa hidupku jika tidak bisa membantu keponakannya. Aku akan membantumu, apapun itu. Bilang saja.”

Hening. Eunjoo terlihat bingung, namun dia juga tidak bisa melewatkan kesempatan ini. Akal sehatnya mulai berjalan, dia harus mengubah hidupnya walau Cuma sedikit.

“Paman, kau bisa bantu aku mencari pekerjaan?”

Hobeom agak terkejut, tapi dia juga nampak berpikir. Eunjoo terdiam, sambil menatap pria dihadapannya itu dengan cemas. Untunglah toko sedang sepi, jadi tak ada yang melihat atau mendengar percakapan ini.

“Aku rasa ada, tapi apa kau sanggup?”

Eunjoo menelan ludah, gadis itu nampak menimbang-nimbang.

“Aku memang sedang membutuhkan orang yang pintar, aku rasa kau cocok dengan pekerjaan ini. Sebenarnya tidak sulit, kau anak yang pintar.”

Eunjoo memiringkan kepala, menatap Hobeom dengan bingung.

“Sebenarnya, pekerjaan apa itu?

Sepasang mata itu hanya menatap tanpa selera.

“Ini buku-bukumu, aku sengaja menyiapkan yang baru untukmu. Buku catatanmu habis dengan coretan dan gambar, mana bisa kau belajar dengan buku seperti itu.” Seokjin menggerutu, dengan telaten dia menyiapkan keperluan sekolah Jungkook dan menaruhnya di atas meja. Pria itu terlihat antusias, padahal yang bersangkutan hanya terduduk malas sambil menonton tayangan televisi dengan ekspresi tak berminat.

“Tak perlu repot begitu hyung, aku bukan murid taman kanak-kanak lagi.”

“Kalau bukan aku yang siapkan lalu siapa lagi? Padahal hari ini hari libur, tapi aku masih sibuk mengurusi urusan yang bahkan bukan urusanku. Kau seharusnya berterimakasih.”

Seokjin pergi meninggalkan ruang tengah dengan nada menggerutu. Jungkook menghela nafas, lalu melempar pandangannya kearah tumpukan buku yang sudah disusun rapi oleh hyungnya itu. Sebenarnya, Jin hyung itu baik, pikirnya. Hanya saja, terkadang dia bersikap agak berlebihan. Apalagi soal pekerjaan rumah atau hal-hal yang—terutama menurut Yoongi—merepotkan, jika sudah membahas hal seperti itu maka Seokjin akan berubah menjadi lebih cerewet dan membuat seisi asrama menghela nafas bosan.

Bosan.

Bosan.

Jungkook mengetuk-ngetukan jemarinya keatas meja, dia terlihat malas dan tidak seperti biasanya. Kemarin, dia dipanggil oleh pihak Bighit, dia diberi peringatan soal nilai akademisnya yang jatuh. Dan hal itu membuat Jungkook terbebani.

Sejak kapan seorang musisi mementingkan nilai sekolah?

Ingin sekali Jungkook berkata hal itu saat diruangan CEO kemarin. Tapi Jungkook tentu tak bisa seberani itu. Dia khawatir, tapi juga kesal. Semua orang, tak terkecuali hyung-hyungnya, menceramahinya soal nilai akademisnya yang anjlok. Jungkook hanya diam selama dia diceramahi habis-habisan, sampai akhirnya sebuah keputusan dijatuhkan untuknya.

“Kau harus les dan mendapat pelajaran tambahan.”

Dia tentu tidak bisa menolak apalagi melawan keputusan itu. Bagi agensinya, nilai akademis selama periode sekolah adalah penting, tentu hal itu akan mempengaruhi popularitas dan citra sang artis dibawah naungan agensi tersebut. Apalagi, Jungkook masih sekolah, ceritanya tentu akan berbeda jika dia sudah lulus seperti hyung-hyungnya yang lain. Setidaknya, setelah lulus, kau hanya fokus pada apa yang kau minati.

“Setidaknya kau harus lulus dengan nilai yang baik. Kau sendiri sudah lihat kan apa yang mereka bicarakan tentangmu di internet dan forum? Kau seharusnya lebih giat lagi.”

Yoongi menceramahinya setelah dia pulang ke asrama malam itu. Jungkook tidak menanggapi ucapan hyungnya, bahkan, tersenyum atau sekedar menganggukan kepala pun tidak. Dia terlalu kesal.

“Aku paham kau benci belajar dan hanya suka menyanyi. Aku juga pernah merasakan hal seperti itu, aku bahkan memutuskan untuk tidak kuliah.”

Namjoon juga ikut menceramahinya. Pria itu berkata dengan ringan, seolah apa yang terjadi padanya itu bukanlah sesuatu yang harus diambil pusing. Tapi, ini lain. Bagi jungkook ini tidak segampang itu.

Namjoon hyung kan pintar, dia bisa lulus dengan mudah dan bahkan mendapat peringkat dua.

Jungkook menghela nafas dan berusaha memutuskan lamunannya yang tak mau berhenti. Dia harus bersiap, karena sebentar lagi guru privatnya akan tiba.

Masa bodoh.

Jungkook bangkit berdiri, lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Dia haus. Berpikir sekeras itu ternyata bisa membuatnya haus.

“Cepat mandi!”

Seokjin kembali menyahut dari kamar begitu mendengar langkah Jungkook yang terdengar mendekat. Ah menyebalkan, ini kan masih terlalu pagi untuk mandi, apalagi cuaca juga sangat mendung dan dingin.

“Tidak usah mandi pun aku tetap tampan kok.”

“Jorok!”

Seokjin kembali menyahut cepat saat Jungkook membuka pintu lemari es. Asrama memang sepi pagi ini, semuanya pergi keluar, hanya Jungkook dan Seokjin-lah yang tersisa. Namjoon, Taehyung, dan Yoongi pergi lari pagi, sementara Hoseok dan Jimin pergi ke laundry untuk mengambil pakaian.

Jungkook lantas menuangkan air dingin ke gelasnya.

Tok.

Tok.

“Kubilang juga apa.” Seokjin berjalan menuju ruang tamu dengan langkah cepat begitu mendengar suara ketukan dipintu depan. Pria itu berjalan dengan sigap, seolah akan ketinggalan sesuatu yang bagus jika dia terlambat satu detik saja.

“Paling itu Jimin dan Hopie Hyung.”

Tapi, salah.

“Hai! Kau pasti guru privat Jungkook kan?”

Jungkook menghela nafas begitu mendengar nada riang Jin hyung dari ruang depan. Dia lalu menaruh gelasnnya diatas meja dapur, dia bahkan belum meminumnya.

“Ah silahkan masuk.”

Buru-buru, bahkan dengan setengah berlari, Jungkook lalu masuk kekamar. Dia tidak mau belajar sekarang, otaknya sudah terlalu lelah.

“Ah, bisakah mereka menunda jadwalnya?”

Jungkook bergumam, lalu duduk disisi ranjang Jimin yang kebetulan dekat dengan pintu kamar. Dia berusaha menguping situasi diluar, sebelum hyungnya itu meminta dia keluar dari tempat persembunyiannya.

“Aku akan panggilkan ya. Jungkook-a! cepat keluar!”

Belum sempat dia menguping, Seokjin sudah memanggilnya keluar. Jungkook akhirnya mengalah, dia lalu membuka pintu dan berjalan menuju ruang tamu dengan langkah malas.

“Ucapkan salam pada gurumu.”

Langkah Jungkook berhenti begitu dia tiba diruang tamu, pria itu menjatuhkan pandangannya kearah wanita yang duduk di sofa panjang. Wanita? Ah tidak dia hanya seorang gadis muda. Masih muda, Jungkook bahkan tidak yakin gadis itu adalah gurunya mulai sekarang.

“Salam kenal, aku Jungkook.”

Perkenalan yang hambar. Jungkook membungkuk sedikit, tanpa senyum. Si gadis juga sama, hanya membungkuk sedikit dan memasang wajah dingin. Gadis itu sebenarnya manis, tapi wajahnya begitu abu-abu, dia tidak berusaha ramah, tidak apapun. Dan nampaknya satu-satunya yang tersenyum hanya Seokjin sekarang.

“Dia Shin Eunjoo, gurumu. Ah mohon bantuannya ya nona Shin, Jungkook memang bukan tipe anak yang rajin.”

“Hyung.” Jungkook berkata dengan nada yang menekan pada hyungnya itu. Seokjin nyengir, dan mengibaskan tangannya seolah apa yang barusan dia katakan bukanlah hal yang penting.

“Aku mengerti, aku akan berusaha sebisaku untuk membantunya.”

Ampun deh, Jungkook menggerutu dalam hati. Gadis bernama Eunjoo itu kini menatapnya dengan dingin, gadis itu sama sekali tidak terlihat ramah. Jungkook melongo, lalu kembali memperhatikan Eunjoo yang mulai bangkit berdiri begitu juga dengan Seokjin. Gadis itu kini menjatuhkan seluruh perhatiannya pada Jungkook. Mereka saling tatap, namun hanya Jungkook yang merasa canggung.

Jungkook mundur selangkah.

“Baiklah, dimana kita bisa mulai?” Eunjoo bertanya pada Jungkook sekarang. Gadis itu berdiri didekatnya tanpa canggung, sambil menenteng tasnya dipundak. Aneh, malah Jungkook yang merasa asing di asramanya sendiri sekarang.

“Ah, diruang tengah?”

Eunjoo mengangguk dengan tatapan lelah. Gadis itu lantas berjalan mengikuti Jungkook keruang tengah, sementara Seokjin sudah bergegas lebih dulu, dia akan memasak makan siang katanya.

Gadis seram, batin Jungkook sambil berjalan menuju sofa diruang tengah. Mimpi apa dia semalam? Kenapa dia harus mendapatkan guru seperti itu? Mana mungkin dia akan diajari oleh orang yang tidak punya semangat dan mirip mayat hidup seperti itu. Manajernya benar-benar keterlaluan.

“Disini saja.”

Ucap Jungkook, lalu mempersilahkan Eunjoo untuk duduk lebih dulu. Dan Eunjoo duduk, lalu membuka isi tasnya dan mulai membuka lembar buku tebal ditangannya tanpa melihat Jungkook sama sekali.

“Fisika, mekanika. Bagian mana yang paling kau tidak mengerti?”

Jungkook bingung. Dia merasa segalanya begitu mendadak, dia bahkan tidak tau berapa umur Eunjoo, dan dia bingung harus memanggil gadis itu dengan sebutan apa.

“uhm maaf tapi, apa bisa kita berkenalan lebih dulu, maksudku aku tidak bisa belajar dengan orang asing, dan aku tidak tau harus memanggilmu dengan panggilan apa.” Ucap Jungkook, canggung. Entahlah, rasanya sangat mengerikan, rasanya sama mengerikannya dengan dimarahi oleh Nyonya Jung. Gadis dihadapannya sama sekali tak bisa diprediksi, apa semua guru akan semengerikan itu ketika mengajar?

Eunjoo mendongak, menatap Jungkook agak lama.

Jungkook menelan ludah.

“aku satu tahun diatasmu, kurasa kau tau harus memanggilku dengan sebutan apa.”

Tidak.

Gadis ini dua kali lebih mengerikan dibanding nyonya Jung.

“Uhm, Noona?”

Seperti orang tolol, Jungkook malah menggunakan nada untuk kalimat Tanya sebagai jawaban.

Eunjoo mengangguk, lalu memasang senyuman tipis dibibirnya. Bahkan, senyumannya lebih mengerikan dibanding milik Yoongi hyung!

“Pintar. Tapi, sebaiknya jangan berusaha untuk membuat lelucon seperti itu denganku, karena aku bukan tipe orang yang mudah tertawa.”

Jungkook mengerjap. Gadis itu salah paham, Dia tidak sedang melawak, tapi Jungkook tau tingkahnya tadi benar-benar sangat bodoh. jelas sekali Eunjoo bukan orang yang lunak dan menyenangkan.

Jungkook menghela nafas, lalu mulai pasrah dengan apa yang akan terjadi berikutnya.

Baiklah Jeon Jungkook, tamatlah riwayatmu mulai hari ini.

Kau.

Tamat.

-TBC-

Chapter 1 beres! Gimana? Maaf kalau ceritanya geje dan mungkin udah terlalu biasa wkwk. Aku Cuma ingin belajar nulis romance lagi, dan aku harap kalian suka. Oh iya, tolong ya buat pembaca untuk nulis review nya di bawah ini, karena review bener-bener penting buat author loh :’) aku tunggu reviewnya ya!

-Caramel Kim-