Tags

, , ,

LOVE IS OUCH

BY

JULIAN YOOK

CAST: Park Jimin, Indi (OC) || SUPPORT CAST: Yeppy (OC), Kim Taehyung || GENRE: Life, Romance, Psychologhy || LENGTH: One shot || RATING: PG-17
[Peringatan! Cerita ini mengandung mature konten]|| DISCLAIMER: Inspired by PARADJI (Ratih Kumala)

“So as expected from you,

I hope that you’ll be free from me forever.”

loveisouch

Rasanya baru kemarin dua orang itu berpelukan, berlari di bawah sinar bulan bulat sempurna, kemudian saling menemukan diri di bawah poni kedai kopi, tak peduli pada orang yang berlalu-lalang, seolah memang tak ada orang di dunia ini. Seolah tidak ada yang punya telinga, hingga suara hisapan-hisapan bibir itu tak dapat didengar.

Tiga belas Juli tahun dua ribu empat belas. Park Jimin berjalan lamban ke arah wastafel. Ia melihat cermin dengan mata yang ruyup, berpegangan pada tembok kamar mandi sementara badannya lemas luar biasa. Ia menunduk, membasuh muka. Sekilas ia menemukan wajahnya terpantul di muka cermin. Ia butuh bersikat, lapisan mentega telah melapisi giginya. Tapi untuk meraih sikat di dalam gelas plastik saja ia merasa begitu lemas. Jimin mencoba mengingat apa yang ia lakukan tadi malam, tapi tetap tidak mendapat petunjuk apa-apa.

“Ahh….”

Lengannya bergetar hendak meraih sikat gigi. Tapi sayang, kepalanya terlanjur pening, pandangannya berbayang. Lalu seketika ia…

… jatuh.

Indi adalah wanita pertama yang menemukan badan lelaki itu tergeletak tak berdaya. Ia berlari masuk ke dalam kamar mandi, mengguncang tubuh suaminya dan berteriak brutal.

“Jimin! Bangun! Jimin!” Diangkat kepala lemah itu ke atas paha. Dan ia jadi sadar, Jimin begitu ringan. Tak berat seperti yang ia rasakan ketika badan mereka berguling-guling. “Jimin! Bangun!”

-OoO-

Selain alarm digital di nakas, ada suara lain yang membuat Indi terjaga pada pagi hari: suara batuk kering milik Jimin. Kain selimut tergulung di kaki dua orang itu. Indi jadi mengerti apa yang membuat Jimin di sisinya menggigil sambil memeluk diri sendiri. Setelah mematikan AC, wanita itu beranjak turun ranjang, mengibarkan selimut hingga menutupi dada Jimin. Ketika hendak kembali berbaring, tak sengaja telapak tangannya bersentuhan dengan perut Jimin. Kaos tipis di balik selimut itu ternyata tersingkap.

Indi meraba pelan. Ada sensasi panas yang terpercik. Kotak-kotak yang selama ini ia kagumi memang sudah meleleh. Indi mengusap lagi, lalu semuanya jadi semakin jelas. Jimin demam. Badannya hangat.

Dipandanginya wajah tertidur itu. Kemudian ditangkupkanlah tangannya di pipi. Diam-diam, ia kecup dahi lelaki itu. Tanpa peduli ini terlalu pagi atau wajah mereka berminyak atau mulutnya masih terasa asam. Indi cuma memandangi wajah lelakinya yang terlelap dan tak memedulikan apapun selain mengagumi. Karena dirinya pun mengerti, berdua berarti mereka menjadi orang yang tidak peduli.

Tidak peduli ini pagi atau siang. Tidak peduli orang di sekitar. Tapi mereka akan jadi orang yang paling peduli pada satu sama lain. Pada orang-orang yang mereka cinta saja. Dan itu adalah Jimin dan Indi, pasangan diri mereka masing-masing.

Jimin tertidur memeluk diri sendiri. Badannya menghangat. Meski lelaki itu terpejam, Indi cukup bisa melihat wajah lelaki itu yang muram. Ia melebarkan tangannya, memeluk tubuh Jimin dengan satu tangan, sementara mereka tertidur berhadapan.

Semakin hari bukannya sembuh, keadaan Park Jimin justru semakin memburuk. Hari ini Busan panas luar biasa. Tapi ia justru berkutat di depan sofa dengan baju hangat, menyaksikan acara televisi sambil menghirup ingus, menggosok-gosok hidung yang merah, bernapas melalui mulut, kemudian menonton dengan mata yang merah dan berair.

Tak ada lagi saling berpagut, tak ada lagi saling mengecup dan mencicip. Indi hanya berusaha merawat Park Jimin yang sakit payah. Dan Park Jimin juga hanya berdiam diri. Membiarkan Indi setiap hari membasuh tubuhnya dengan kain basah yang terasa hangat. Ganti dari mandi.

Waktu hari menjelang malam, lelaki itu tertidur di depan televisi. Masih dengan tayangan hiburan yang tersiar dan ricuh suara tawa dari dalamnya.

Indi tersenyum. Ia melepas celemek dan berjalan mendekat.

“Jimin? Bangun….” Ia menepuk pipi lelaki itu pelan. “Jimin? Saya memasak sup jagung untuk kamu.” Indi masih tersenyum, mengelus lembut. “Jimin?” Tapi kemudian ia sadar, ada sesuatu yang kurang di sini.

Embusan napas.

Lelaki itu diam. Cuma diam.

“Jimin?”

“Jimin bangun.”

“Jimin!”

“JIMIN BANGUN!” Segala gerak-geriknya yang lembut seolah terkikis, diguncangkan olehnya tubuh lelaki itu kasar, keras, seolah dengan begitu rohnya bisa kembali masuk dan ia akan bangun sambil tersedak.

“Jimin! Kenapa kamu mati!?”

-OoO-

Selepas kepergian Jimin, Indi banyak menghabiskan waktunya dengan merenung. Menerka-nerka saja kerjaannya tiap hari. Kematian orang yang ia sayangi tak jauh seperti potongan peria tersempal di kerongkongannya. Pahang. Pahit! Tapi ia tak menemukan air untuk diminum. Terlebih ketika ia sadar, selama ini Jimin adalah mata airnya. Di mana ia bernapas seperti ikan mujair dan Jimin adalah tempat ia menemukan diri sendiri, berenang, meliuk-liuk, menggeliat, tepat di dalamnya.

Di dalam hidup Jimin.

Indi meraih pemantik di atas meja yang menghadap ke barat. Di mana setiap sore ia bisa melihat matahari tenggelam melalui jendelanya yang lapang. Puntung-puntung rokok yang bengkok hasil ditandaskan sebelum benar-benar habis terhitung ada belasan di mejanya. Tak peduli itu asbak atau bukan, tapi abu berterbangan di sekitarnya. Membuat ruangan itu kental dengan bau rokok, bahkan meresap hingga ke pori-pori pakaiannya sendiri.

Lavender Mist. Indi tersenyum mengingat aroma itu. Dulu ia menyemprotkannya di setiap pojok ruangan. Lalu Jimin datang sambil tersenyum, memuji sambil melonggarkan kerah bajunya sepulang kerja.

“Wanginya enak.”

Indi mendecih. Sekarang semuanya tidak lagi mungkin. Dan kerjaannya hanya itu saban hari, membanding-bandingkan hidupnya yang dulu dan sekarang. Ia melirik jam dan berpikir bahwa pukul tujuh pagi dia sedang melakukan ini dengan Jimin, melakukan itu untuk Jimin. Tapi sekarang, ia malah ingin memukul dirinya sendiri.

Indi menghisap rokoknya khidmat, kemudian mengembuskannya keras-keras seolah mencari kepuasan. Pikirannya melayang, seperti asap yang juga melayang. Indi menyilangkan kaki, memiringkan kepala, lalu memandangi matahari oranye di hadapannya.

“Jimin dibunuh,” ia berkata, datar. “Jimin dibunuh oleh siluman tengkorak.”

Indi menghisap lagi, dan melanjutkan racauannya.

“Makhluk jadi-jadian itu kurang ajar! Bangsat! Berani-beraninya membunuh suami saya!”

Sejak saat itu Indi berkelana untuk mencari keberadaan siluman tengkorak. Sudah sejak lama ia menaruh curiga pada rekan kerja Jimin. Mereka pernah bertemu ketika Indi mengantar kotak makanan Jimin yang tertinggal ke kantor. Bariton lelaki itu kemudian menggema di dalam kepalanya.

Nama saya Kim Taehyung.”

Dia pasti siluman tengkorak yang membunuh Jimin.

Semakin hari keyakinan konyol Indi semakin besar. Tak ada yang bisa menghalangi jalannya. Termasuk waktu ia bercerita pada keluarga sekali pun.

“Jimin itu dibunuh siluman tengkorak!”

Seluruh keluarganya tertegun. Tak ada yang menyahut.

“Kim Taehyung itu sebenarnya siluman tengkorak!”

Lalu yang terdengar selanjutnya hanyalah embusan napas lelah. Mereka membubarkan diri, kembali sibuk pada urusan masing-masing. Indi mengikuti langkah mereka satu-satu dan terus berkicau.

“Dia itu jelmaan tengkorak!” Tangannya bergerak-gerak, meyakinkan.

Tak ada yang mengerti dari mana Indi punya kesimpulan seperti itu. Indi hanya satu kali bertemu Taehyung, itu pun hanya sebatas kenal sekilas. Tak pernah ada kontak apapun. Semuanya berspekulasi bahwa ini memang bualan Indi saja yang terlampau sakit karena kepergian Jimin yang tiba-tiba.

“Dia itu dibunuh siluman tengkorak! Siluman tengkorak brengsek!”

Indi lalu pergi berkelana untuk membuktikan bahwa renungan di depan jendelanya itu benar; siluman tengkorak yang membunuh Jiminnya. Jimin yang ia cintai sampai pusing.

Indi bertapa di gunung berminggu-minggu. Hidup di belantara, mengandalkan instingnya untuk bertahan hidup. Jiwa perempuan seakan menyusut dalam dirinya. Ia jadi pribadi yang kuat, terlampau kuat. Sampai ia berpikir mungkin ia akan menjadi tarzan.

Ketika kembali ke Busan, ilmu hitam sudah ia kantongi. Kalau ia mau, ia bisa mengempaskan truk sekali pun dengan jentikkan jari. Ini semua tak lain ia dapatkan hanya untuk membalaskan dendam pada siluman tengkorak delusionalnya: Kim Taehyung.

“Saya mau bertemu dengan Kim Taehyung,” Indi berkata ramah pada resepsionis.

Sang resepsionis sempat terpana melihat wanita cantik di hadapannya. Bibir Indi yang merah muda, matanya yang cerah, dan rambutnya yang jatuh dengan sempurna. Aura Indi benar-benar keluar.

“Permisi?” Indi tersenyum, menyadarkan.

“Ma-maaf. Kim Taehyung ya?”

“Iya, saya ada keperluan dengan silu—” Indi berdehem, meralat perkataannya buru-buru. “Saya ada keperluan dengan Kim Taehyung.”

“Oke, Kim Taehyung.” Resepsionis itu bergumam, sekejap sibuk dengan layar monitor. “Maaf, Nyonya. Kim Taehyung sudah tidak terdaftar sebagai karyawan di sini.”

Indi lalu pulang dengan wajah kecewa. Ia membuka pintu rumah dan mendorongnya dengan punggung bersandar. Badannya kemudian merosot, menunduk meratapi lantai.

Sayup-sayup suara televisi yang menyala menelusup kesadarannya. Indi tahu ini suara yang tidak asing. Suara khas yang tiap kali terdengar, maka ia teringat bagaimana terakhir kalinya kondisi Park Jimin.

Indi diam, membiarkan hening meliputi sekitar, berharap dengan begitu ia bisa menelisik suara dengan lebih jelas. Sampai suara lain tiba-tiba terdengar.

“Kasihan Indi. Dia itu tidak tahu kalau sebenarnya Jimin sakit.”

“HIV/AIDS, ya?”

“Iya.”

Seluruh badan Indi tiba-tiba lemas. Suara paman dan bibinya dari ruang tengah mampu membuat kesaktiannya tak berguna. Ia merasa lemah, kembali jadi Indi yang betul-betul perempuan.

Indi bangkit berdiri, berjalan sempoyongan sambil meraba-raba benda di sekitarnya. Ia berjalan melintas di antara sofa dan televisi yang tengah ditonton.

“Indi!”

Indi tak menggubris. Seolah ‘paham tak peduli’ masih melekat terus di dalam dirinya, meski kini Jimin sudah tidak ada.

“Indi, sudah pulang? Indi dari mana? Hati-hati, Sayang!” Bibi bangkit dan secara tidak sadar justru membuat wanita itu tambah pusing dengan recokannya. Paman ikut bangkit, dan mereka memapah Indi bersama-sama menuju sofa.

“Indi dari mana saja?”

Wanita itu hanya bersandar lemah, mencari tempat pembaringan untuk punggungnya yang lelah. Seharusnya ada bahu Jimin untuk bersandar. Seharusnya….

“Indi sudah makan? Indi? Indi tidak apa-apa?”

Indi kali ini menjawab, tapi lewat muntah yang tersembur deras.

Indi sudah makan. Indi tidak baik-baik saja.

-OoO-

Begitu banyak yang Indi lewatkan selama ia bertapa di gunung. Fakta-fakta itu cukup membuatnya tersentak. Park Jimin dan semua pemeriksaan dokter. Park Jimin dan surat-surat dari tempat rehabilitasi. Park Jimin dan wanita-wanitanya yang lain.

Ditarik baju-baju dari dalam lemari dan dilemparkan asal oleh tangan-tangannya yang kurus. Ia berteriak, memaki-maki, matanya basah, wajahnya memerah tak keruan.

Indi meraih baju-baju Jimin dan menghirupnya dalam-dalam. Ada aroma lain selain bau detergen yang mudah pudar. Ini terlalu mencolok. Ini pasti parfum wanita.

Indi beralih ke baju yang lain. Ia kembali menghirup dan wangi parfum yang mamabukkan kembali ia cium. Matanya menatap kosong ketika menyadari ini wangi yang berbeda.

Indi menggali dan menemukan baju-baju yang lain. Ia lempar ke udara, melewati pundaknya. Hingga di paling bawah ia menemukan sesuatu yang asing. Celana dalam ini bukan milik Indi. Indi tidak suka celana berenda-renda.

“Sialan…,” Indi mendesis, tersenyum sangsi.

Dilepaskan seprai kasurnya dengan kasar. Ia membanting selimut, bantal serta guling ke lantai. Nakas ia sapu bersih hingga tak ada satu pun benda yang bertahan di atasnya. Suara lampu tidur yang pecah dan segelas air putih turut tumpah, membuat segala sesuatunya makin tampak porak-poranda.

“AAHHRRGGG!”

Indi tersungkur. Badannya tergugu di lantai, menatap pecahan kaca dan air yang menggenang di dekat nakas. Jauh tapi sejajar dengan badannya kini berbaring. Indi kemudian menangis, memegang kepalanya yang terasa berat.

-OoO-

“Bagaimana malam ini?”

“Panas,” Jimin menjawab usil.

Yeppy tersenyum puas dan kembali merangsak masuk ke dalam selimut.

“Selimutnya wangi parfum istrimu.”

“Lain kali aku beli selimut khusus untuk kita.”

“Wanitamu yang lain? Bagaimana? Harus ada berapa selimut untuk ‘kita-kita’ yang lain, hm?”

Alih-alih bersuara, Jimin malah mengeratkan pelukan.

“Jangan kira aku tidak tahu kamu ini lelaki seperti apa. Cassanova. Playboy.”

Yeppy menyandarkan kepalanya di dada Jimin. Rasanya nyaman, seperti bantal bernyawa yang bisa menyebarkan hangat. Otot lengan Jimin menggeliat, meski tak terlihat karena di sini terlalu gelap.

“Sampai kapan?” Yeppy berbisik.

“Sampai Indi pulang.”

“Dadamu empuk. Indi beruntung.”

Getar ponsel kemudian membuyarkan kegiatan mereka. Jimin meraba ponselnya yang tergeletak di lantai, terdampar bersama helaian baju mereka.

“Saya pulang cepat. Ada toko es krim baru di samping kantor. Jimin mau rasa apa? Mau coba rasa teh hijau? Saya bisa jalan kaki lebih cepat supaya es krimnya tidak meleleh. Indi.”

Jimin tersentak dan buru-buru bangkit. Menendang Yeppy dari ranjangnya hingga terguling.

“Pulang sana!”

Dan ia melempar lembaran uang itu ke lantai.

“Kalau Indi ingin rasa teh hijau, kita beli rasa teh hijau saja,” Jimin membalas.

Cepat-cepat Jimin membereskan kamar, mengganti baju dan menghilangkan jejak sebisa mungkin. Yeppy sudah pulang. Jimin bersyukur kali ini masih selamat.

“Jimin? Jimin?” suara Indi mendekat. Jimin berdiri di samping ranjang, menggenggam pergelangan tangan di balik punggung, seolah semua baik-baik saja.

“Sudah pulang?”

Mereka berpelukan, pelukan yang terlalu bersemangat dari Indi hingga badan Jimin mundur sedepa, mempertahankan keseimbangan.

“Jimin wangi.”

Mereka melepas pelukan itu. Hidung Indi mendengus-dengus.

“Tapi—ahh sudahlah. Ayo makan es krim!” Indi mengangkat kantong belanjaannya dan berseru penuh semangat.

Jimin juga tersenyum. Diam-diam kakinya meraba lantai, mendorong kain berenda itu masuk ke bawah ranjang.

“Kita ke meja makan, ya, Indi?”

-OoO-

Indi memijit pelipisnya, berjalan menginjak pakaian yang berceceran di lantai. Sempat ia hampir tersandung, namun buru-buru menahan pada tembok.

Sekian lama ia berendam di dalam bathtub, menenggelamkan diri yang masih mengenakan pakaian tidur. Wajahnya bangkit tenggelam, muncul dan ia menarik napas sampai tersedak-sedak. Tanpa melihat, tangannya meraih test pack di dekat tabung lulurnya berjajar.

Sebuah senyum getir kemudian terbit. Ia mendecih dan melempar test pack itu ke dalam closet.

“Saya hamil….”

Indi kembali menenggelamkan diri, memejamkan mata sementara rambutnya yang hitam berkibar-kibar di dalam air. Gelembung keluar dari hidungnya sedikit demi sedikit.

Park Jimin tidak pernah pergi. Ia hanya pergi sekali, hanya saja tidak kembali.

Selain kenangan, Indi tahu apa yang lelaki itu tinggalkan untuk dirinya.

Indi juga tahu, ini semua sudahlah cukup.

Terimakasih untuk bayi dan sesuatu lain yang kamu tinggalkan pada tubuh kami berdua, Park Jimin.

-OoO-

“Love is always ouch and always comes with pain.”

Fin

A/N: hai. Julian yook kembali sama genre yang agak ugh gitu. Wakakaka. Im sorry untuk semua OOC. Okay, maaf untuk semuanya karena baca ff macam ini. maafkan ya. Dan sebenernya ini lagi bereksperimen sama penggunaan kata “saya” di ff. wakss. Don’t worry, jimin still mine. Leave comment, oke? Let me know if you find any typos. And let me know if u read this. 🙂 much love, JYOOK!